Review Buku Prospek Otonomi Daerah di NKRI

Judul buku         : Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia
                 Identifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi penyelenggaraannya
Pengarang           : Drs. Josef Riwu Kaho, MPA
Tahun terbit        : 2002 (cetakan keenam)
Jumlah Halaman : 270 halaman

            Otonomi daerah yang kita alami di Indonesia saat ini terasa begitu absurd. Di satu sisi banyak daerah yang mengalami kemajuan luar biasa dan terkenal dengan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, di sisi lain lebih banyak daerah yang makin "kacau" dan bisa dikatakan hidup segan, mati tak mau. Otonomi daerah yang diharapkan mampu mendekatkan negara pada rakyatnya beralih menjadi pemangsaan rakyat oleh negara. Kesejahteraan sebagai tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan hanyalah utopia dalam janji kampanye belaka. Apakah penyelenggaraan otonomi daerah yang sekarang dilakukan di negara kita itu salah? Apakah sebenarnya Indonesia tidak cocok menganut otonomi daerah?  
             Buku Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Identifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi penyelenggaraannya merupakan salah satu buku yang membahas secara komperhensif konsep, prinsip dan praktik penerapan Otonomi daerah di Indonesia dari waktu ke waktu mulai masa pemerintahan Hindia Belanda, Masa Pendudukan Jepang, dan Masa Setelah Kemerdekaan (dari proklamasi kemerdekaan sampai UU No.5 Tahun 1974). Selain itu buku ini juga menjelaskan mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia.
            Pilihan antara sentralisasi atau desentalisasi mencakup keputusan akan empat dari lima isu politik yang dihadapi oleh suatu negara. Dan desentralisasi merupakan pilihan para founding fathers kita dalam penyelenggaraan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 berikut penjelasannya. Dalam penjabaran alasan mengenai dianutnya desentralisasi, penulis banyak mengutip pendapat para ahli, kemudian penulis sendiri menempatkan pendapatnya dengan mengikuti pendapat mariun, bahwa desentralisasi dianut demi tercapainya efektivitas pemerintahan dan demi terlaksananya demokrasi dari/di bawah (grassroots democracy). Cara penulisan seperti ini terasa sangat ilmiah dan mudah dipahami bila dibandingkan bagaimana Syaukani,dkk (2002) menuliskan alasan desentralisasi dengan mencampur pendapat banyak orang menjadi beberapa alasan yang dirangkum dalam beberapa poin alasan. Dan bandingkan pula dengan buku Abdurrahman (1987) yang mengutip pendapat para Ahli namun tidak menyatakan diri mengikuti salah satu pendapat atau menyimpulkan dengan pendapatnya sendiri. Hanya sayangnya dalam buku ini banyak pendapat ahli yang masih dalam bahasa Inggris, belum dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Hal ini bisa menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pembaca yang memiliki kemampuan penguasaan bahasa asing (inggris) yang terbatas.
            Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi, muncullah daerah daerah otonom, yaitu daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Yang diatur dan diurus adalah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Teknik yang dapat digunakan untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana urusan daerah ada beberapa , yaitu : (1) sistem residu dimana  ditentukan dulu wewenang pusat, sisanya menjadi wewenang daerah, (2) sistem material dimana tugas pemerintah daerah ditetapkan satu per satu secara limitatif dan terinci, (3) sistem formal dimana urusan daerah tidak ditetapkan dengan undang-undang melainkan daeah boleh mengatur urusan yang dirasa penting bagi daerahnya selama tidak berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah di atasnya, (4) sistem otonomi riil dimana penyerahan urusan kepada daerah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan riil dari daerah dan (5) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab yang merupakan variasi dari otonomi riil yang tercantum dalam UU No 5 Tahun 1974. Urusan otonomi daerah ini tidak statis, tetapi dinamis : berkembang dan berubah. Hal ini karena terjadinya perubahan di masyarakat, sehingga urusan daerah dapat ditambah atau ditarik menurut situasi dan perspektif yang dipakai.
            Pada bagian berikutnya diceritakan perkembangan sejarah berikut perkembangan otonomi daerah dari masa ke masa sejak periode kolonial Belanda, zaman pemerintahan militer Jepang dampai masa Indonesia Merdeka. Dari garis perkembangan sejarah ini diketahui bahwa Indonesia memegang teguh asas desentralisasi dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahannya dari satu periode ke yang lainnya meskipun terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya. Dalam buku ini diceritakan secara detail desentralisasi yang terjadi pada masa kolonial Hindia Belanda, pemerintahan militer Jepang dan setelah merdeka sampai saat ini. Hal inilah yang merupakan salah satu keunggulan buku ini dibandingkan  buku-buku lain tentang otonomi daerah seperti Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan karangan Syaukani dkk (2002), Hukum Otonomi Daerah karangan Sudi Fahmi (2009), dan buku-buku tentang otonomi daerah lainnya.
Hanya saja yang menjadi kekurangan dari bab ini adalah terbatasnya informasinya mengenai desentralisasi hanya sebatas pada UU No 5 Tahun 1974, padahal pada saat buku ini dicetak ulang pada tahun 2002 sudah ada pengaturan baru mengenai desentralisasi di Indonesia. Sehingga rasanya buku ini kurang lengkap bila belum ada cerita desentralisasi dengan pengaturan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih baru seperti UU No 22 Tahun 1999. Dan hal ini untungnya terwujud di buku selanjutnya yang diterbitkan penulis.
Pada bagian berikutnya diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan otonomi daerah. Faktor-faktor ini juga sekaligus faktor-faktor yang sangat menentukan prospek otonomi daerah pada masa yang akan datang. Faktor yang pertama adalah faktor manusia. Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat ditentukan oleh kapasitas yang dimiliki oleh manusia pelaksananya. Penyelenggaraan otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabila manusia pelaksananya baik, dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya. Manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang berfungsi sebagai subyek penggerak roda organisasi pemerintahan. Manusia pelaksana pemerintahan daerah antara lain : (a) kepala daerah dan DPRD : beban tugas mereka sangat berat, sehingga untuk menduduki jabatan ini juga memerlukan kualifikasi yang sebanding dengan beban tugasnya. Faktor pengalaman dan pendidikan menempati posisi penting dalam menempa Kepala Daerah dan DPRD. (b) aparatur pemerintah daerah : sebagai unsur pelaksana, aparatur pemerintah daerah memiliki peran vital dalam keseluruhan proses penyelenggaraan otonomi daerah. Melihat beban tugasnya yang demikian berat dengan banyaknya kewenangan yang diberikan kepada daerah, perlu langkah sistematis untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah. Syarat pendidikan, pengalaman organisasi dan peningkatan skenario latihan, kursus dan sebagainya. (c) masyarakat : penyelenggaraan pemerintah daerah bukan semata hanya di pundak pemerintah daerah, tetapi juga di pundak masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat daerah dapat berpartisipasi baik secara parsial maupun holistik, sesuai dengan kompetensi, masalah, keahlian, dan yuridiksi yang dimilikinya. Partisipasi masyarakat ini menyangkut empat hal penting, yaitu : partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, partisipasi dalam proses pelaksanaan, partisipasi dalam menikmati hasil, partisipasi dalam proses evaluasi.
Faktor berikutnya yaitu faktor keuangan. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuangan ini merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Keuangan daerah ini untuk membiayai pembangunan. Sumber-sumber keuangan daerah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok utama, yaitu : pendapatan asli daerah (PAD) dan sumber pendapatan non-asli daerah (non-PAD). Sumber-sumber PAD mencakup lima sumber utama, yaitu : hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, hasil dinas daerah, dan hasil usaha daerah lain yang sah. Selama ini penghasilan daerah ini sangat rendah, sehingga untuk operasional pemerintah daerah masih banyak menggantungkan subsidi keuangan dari pusat.
Faktor selanjutnya yaitu faktor peralatan. Peralatan merupakan instrumen perantara dan pembantu bagi aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan berbagai tugas pekerjaannya. Untuk memperlancar jalannya penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah maka diperlukan sejumlah alat yang cukup memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya. Keterbatasan peralatan yang dimiliki daerah dapat menyulitkan aparatur dalam melaksanakan fungsi public service.
Faktor yang terakhir adalah faktor organisasi dan manajemen. Untuk dapat mewujudkan organisasi yang baik dan sehat maka dalam setiap organisasi perlu diterapkan asas-asas atau prinsip-prinsip tertentu tertentu. Asas-asas ini merupakan sarana perantara menciptakan iklim yang baik untuk mencapai tujuan organisasi. Tujuan yang jelas merupakan hal yang pokok dalam tiap organisasi dan landasan bagi organisasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan. Asas selanjutnya adalah pembagian kerja. Pembagian kerja harus diikuti pula oleh pendelegasian wewenang, sehingga pelaksanaan bidang tugas dapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab seseorang. Koordinasi merupakan asas lain yang harus ditetapkan. Koordinasi dimaksudkan untuk mejamin kesatuan tindakan guna meramalkan dan mencegah terjadinya krisis. Asas berikutnya yaitu pengontrolan. Kontrol merupakan hal yang penting dalam organisasi. Setiap orang memiliki keterbatasan dalam mengontrol sejumlah besar bawahan. Untuk bisa mengontrol bawahan secara efektif, pemimpin harus memiliki rentang kontrol dan batas-batas toleransi. Asas yang terakhir yaitu kesatuan komando. Kesatuan komando ini penting untuk menghindari terjadinya konflik atau kesimpangsiuran dan mempertegas kejelasan dalam pertanggungjawaban.
Disamping faktor organisasi, yang tak kalah pentingnya adalah manajemen. Manajemen ini memiliki lima fungsi pokok : perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan dan pengawasan. Perencanaan memiliki arti strategis sebab dapat membantu organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Pengorganisasian mempertegas garis wewenang, tugas dan kewajiban, mempermudah koordinasi dan integrasi, menghindari terbengkalainya tugas dan pekerjaan mempertegas saluran perintah, tanggung jawab dan komunikasi. Penyusunan personalia merupakan fungsi manajemen yang berkaitan dengan recruitment tenaga, penempatan pada posisi yang sesuai dengan kemampuannya, pemberian latihan serta pengembangan anggota. Dengan adanya penyusunan personalia dapat dijamin ketersediaan personalia yang cukup waktu yang tepat dan kualifikasi kemampuan yang tepat pula. Fungsi pengarahan berkaitan dengan pemberian arahan terhadap kegiatan-kegiatan operasional. Pengarahan merupakan langkah konkritisasi dari segala tujuan dan rencana yang diperankan oleh seorang pemimpin. Pengawasan merupakan fungsi terakhir yang sangat penting dalam setiap organisasi. Dengan pengawasan dapat diukur kemajuan yang dicapai, mencegah terjadinya penyimpangan sehingga memudahkan tindakan korektif. Pengawasan diperlukan untuk menjamin tetap berjalannya suatu pekerjaan sesuai dengan yang telah direncanakan. 
Faktor-faktor yang dibahas dalam buku ini masih relevan dengan keadaan saat ini dimana penyelenggaraan pemerintah memiliki tantangan yang besar dengan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Dalam Sinambela dan Azhari (2003) pada bukunya berjudul dilema otonomi daerah dan masa depan nasionalisme Indonesia, diungkapkan banyak permasalahan kontemporer pelaksanaan otonomi daerah yang dengan berbagai isunya. Setelah dicoba untuk disederhanakan, ternyata permasalahan-permasalahan ini kembali berakar ada keempat faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam buku ini.
Begitu juga pembahasan mengenai otonomi daerah oleh Yuwono, dkk (2001). Dalam bukunya manajemen otonomi daerah, membangun daerah berdasar paradigma baru, problem yang dihadapi daerah masih seputar sumber daya manusia, keuangan, peralatan yang terkait untuk pelayanan publik dan organisasi serta manajemen, dimana saat ini baru gencar-gencaranya diwacanakan reformasi birokrasi. Secara logika, buku prospek otonomi daerah dalam negara kesatuan republik indonesia dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penyelenggaraannya ini menjadi logika dan bangunan argumen dasar bagi tiap buku tentang otonomi daerah yang ditulis kemudian.

Daftar Pustaka :
Abdurrahman, SH (ed). 1987. Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah. Media Sarana Press. Jakarta
Fahmi, Sudi. 2009. Hukum Otonomi Daerah : Konsistensi Hukum antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kreasi Total Media. Yogyakarta
Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rajawali Press. Jakarta
Sinambela, Mahadi dan Azhari. 2003. Dilema Otonomi Daerah dan  Masa Depan Nasionalisme Indonesia. Penerbit Balairung & co. Yogyakarta
Syaukani HR, Affan Gafar, M.Ryaas Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Yuwono, Teguh (ed). 2001. Manajemen Otonomi Daerah, Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru. Clogapps Diponegoro University. Semarang