The pilgrimage (ziarah)

        Tadi pagi baru saja kuselesaikan membaca buku The Pilgrimage buah karya Paulo Coelho. Ya, seperti karya-karya Paulo Coelho yang lainnya, buku ini juga sarat dengan pertanyaan kritis dan penjiwaan. The Pilgrimage atau dalam bahasa indonesia berarti ziarah, sangat tepat dibaca pada hari-hari ini. Mengapa? karena hari-hari ini mendekati haji, peristiwa penting bagi umat Islam, dan juga sekaligus termasuk rukun Islam kelima. Kita lihat betapa banyak orang bergelar haji, namun kelakuannya sangat jauh dari nilai-nilai islam. Pun di banyak novel dan cerpen, sosok haji banyak dicitrakan "negatif", bukan sosok yang bijak dan mengayomi (Kecuali sinetron haji sulam kali ya..hehehe). 
       The Pilgrimage, menceritakan perjalanan Paulo dalam mencari pedang (yang sebenarnya niatannya untuk mencari kebanggaan atas pembuktian bahwa dia mampu, namun dia mendapatkan lebih dari itu : pengetahuan, kebijaksaaan, penguasaan diri) yang sarat dengan tradisi nasrani. Namun bagi muslim, tak ada salahnya mengambil hikmah, mengingat banyak pula dari orang islam yang melakukan ziarah (haji dan umroh) yang awalnya berniat mencari kebanggaan dan gelar, namun mendapatkan hal yang lebih dengan pengalaman spriritual yang didapatkan selama perjalanan ziarah tersebut. Mungkin nanti setelah membaca buku ini, untuk melengkapi bagaimana suatu perjalanan bisa mengantarkan kita pada pengalaman spiritual, bisa kita baca buku yang lain seperti berhaji dari thailand (pernah kulihat bukunya di toko buku), maupun etnografis perjalanan haji plus dari seorang peneliti (wah, siapa ya? aku lupa. seorang dosen metodologi pernah bercerita di kelas tentang si haji ini). 
     Semoga komplitlah bekal kita (yang belum berhaji) untuk melakukan perjalanan ziarah ini dan mendapatkan lebih dari sekedar gelar, kebanggaan, dan pembuktian diri yang sebenarnya semua itu nothing. Baca buku dulu, pelajari ilmunya baru praktekkan. Semoga kita disegerakan untuk diundang oleh Allah subhanahu wa ta'ala ke Baitullah. Amin

Berikut salah satu bagian paling kusuka dari buku the pilgrimage, semoga bermanfaat : 

"Ketika kau melakukan perjalanan, kau akan merasakan suatu kelahiran kembali dalam bentuk paling sederhana. Kau berhadapan dengan situasi-situasi baru, harimu akan berjalan lebih lambat, dan dalam sebagian besar perjalanan ini, kau akan menemui orang-orang berbahasa asing. Jadi, kau bagaikan bayi yang baru keluar dari rahim. Hal-hal di sekitarmu akan menjadi lebih penting karena kelangsungan hidupmu tergantung pada hal-hal tersebut. Kau juga akan lebih terbuka terhadap orang lain karena mungkin mereka akan bisa membantumu di kala kesukaran. Dan kau akan menerima setiap karunia Tuhan dengan kebahagiaan tiada tara, seakan karunia itu salah satu episode hidupmu yang terpenting. Di saat yang sama, karena segala sesuatu terasa baru, kau hanya akan melihat keindahan, dan kau akan merasa bahagia bisa hidup. Inilah alasan ziarah spiritual menjadi jalan untuk mencapai pencerahan."

Ada lagi bagian yang lebih keren :

" Jalan yang sekarang kau tempuh adalah jalan kekuatan, dan hanya latihan melibatkan kekuatan yang akan diberikan padamu. Perjalananmu yang sebelum ini penuh dengan siksa karena yang kau ingikan hanyalah sampai ke tujuan, kini mulai menjadi kenikmatan. Inilah yang dinamakan kesenangan pencarian dan petualangan. Kaucoba meraih hal yang sangat penting - impianmu."

"Kita tidak boleh berhenti bermimpi. Impian menyediakan nutrisi bagi jiwamu, seperti makanan bagi tubuh. Ada banyak momen dalam kehidupan kita saat impian tercerai dan harapan tak sampai, tapi kita harus terus bermimpi. Jika kita berhenti bermimpi, jiwa kita akan mati, dan agape (cinta) takkan pernah dapat mencapainya. Banyak darah tumpah di lapangan pertempuran di luar sana. Tak masalah siapa yang berada di pihak yang benar, yang terpenting keduanya bertempur untuk sesuatu yang mulia."

"Pertempuran untuk kebaikan adalah pertempuran yang diminta hati kita. Pada masa kerajaan - zaman ksatria berbaju zirah - hal ini mudah dilakukan. Ada banyak sekali lahan untuk dikuasai. Namun kini dunia berubah drastis, dan pertempuran untuk kebaikan tak lagi berlangsung di medan pertempuran, tapi di hati kita masing-masing". 

"Pertempuran untuk kebaikan adalah pertempuran mewujudkan impian. Saat kita masih muda dan mimpi-mimpi kita meledak di dalam diri kita dengan segenap kekuatannya, kita menjadi sangat pemberani, tapi kita belum mengetahui cara bertempur. Melalui usaha yang keras, kita belajar bertempur, namun saat akhirnya kita bisa bertempur, kita kehilangan nyali untuk pergi bertempur. Jadi kita berbalik bertempur melawan diri sendiri. Kita menjadi musuh terburuk bagi diri sendiri. Kita akan mengatakan mimpi-mimpi itu kekanak-kanakan, atau terlalu sulit diwujudkan, atau impian itu ada karena kita belum belajar banyak tentang kehidupan. Kita membunuh impian karena takut berjuang dengan sekuat tenaga."

"Gejala awal kita berada dalam proses membunuh impian adalah keterbatasan waktu. Orang-orang sibuk yang pernah aku kenal dalam hidupku selalu memiliki cukup waktu melakukan semua hal. Mereka yang tak pernah melakukan apapun selalu merasa letih dan tak memperhatikan pekerjaan mereka yang berbeban sedikit. Mereka terlampau mengeluh hari terlalu singkat. Sebenarnya, mereka hanya takut berjuang dengan sekuat tenaga."

"Gejala kedua impian kita mulai mati terletak dalam keyakinan kita. Karena kita tak ingin lagi memandang hidup sebagai petualangan hebat, kita lalu memandang diri sendiri bijaksana dan adil serta benar karena sedikit sekali mempertanyakan hidup. Kita melihat hal-hal yang terbentang di balik kehidupan sehari-hari, dan mendengar suara perisai bersahutan, membaui segala debu dan keringat serta melihat kekalahan besar dan api semangat yang terpancar dari mata para kesatria. Namun kita tak pernah menangkap kebahagiaan, kebahagiaan tak terkira yang timbul di hati para pejuang di medan perang. Bagi mereka, kalah atau menang menjadi tak penting, yang paling penting adalah kau bertempur untuk membela kebaikan."

"Dan, yang terakhir, gejala ketiga kita melepaskan impian adalah kedamaian. Hidup seperti minggu sore, kita tak lagi menginginkan sesuatu yang luar biasa, dan kitapun tak lagi meminta sesuatu lebih dari apa yang kita berikan. Saat ini terjadi, kita berpikir inilah yang disebut dewasa, kita melupakan impian masa muda, dan kita mencari pencapaian pribadi dan professional. Kita akan terkejut mengetahui orang seumur kita masih menginginkan banyak hal dalam hidup mereka. Namun jauh di lubuk hati, kita tahu yang sungguh terjadi adalah kita menyerah bertempur demi mimpi kita - kita menolak bertempur demi kebaikan. Saat kita berhenti bermimpi dan menemukan kedamaian, kita akan merasakan kedamaian singkat. Namun impian yang tak tercapai itu membusuk dan mempengaruhi seluruh kehidupan kita. Kita menjadi kejam terhadap orang di sekitar kita, kemudian mengarahkan kekejaman ini berbalik melawan kita. Itulah saat penyakit dan depresi melanda. Apa yang kita hindari dalam pertempuran -kekecewaan dan kekalahan- hadir karena kepengecutan kita sendiri. Dan suatu hari, impian yang mati dan rusak ini akan membuat dada sesak, dan kita jadi mencari kematian. Kematian akan membebaskan kita dari segala kepastian, pekerjaan, dan kedamaian semu minggu sore kita".

By the river piedra i sat down and wept, sebuah novel dari paulo coelho

       Sebuah tulisan lama. Tidak terlalu lama, sih. Baru kemarin beberapa hari setelah lebaran idul fitri. Ketika kubuka-buka, kemudian kubaca-baca, ternyata isinya lumayan juga. jadi tak ada salahnya kutaruh di blog ini. Semoga bermanfaat.

Berikut tulisannya :

        Sungguh hari yang hening, khidmat dan hangat. Setelah melalui pagi yang tak biasa, malas sekali hari ini beraktivitas keluar rumah. Bukan karena tak ada agenda. Tak seperti hari biasa, belakangan ini jalanan kota jogjakarta macet luar biasa. Sudah terbayang bagaimana jadinya kalau ikut menambah panjang barisan mengular antrian kendaraan di sepanjang jalan. lagipula beranjak siang sinar mataharipun mulai menyengat. Perfecto, menggenapi alasan untuk bermalas-malasan di rumah saja. Merendam kaki di kolam, sambil membaca buku sepertinya pilihan yang menarik...
         Jadilah bukunya om paulo coelho, by the river piedra i sat down and wept terpilih untuk disimak. Dan aku selalu suka bagian awal buku ini. Berikut bagiannya dengan sedikit penyesuaian...


          Di tepi sungai piedra aku duduk dan menangis. Ada suatu legenda bahwa segala sesuatu yang jatuh ke sungai ini – dedaunan, serangga, bulu burung – akan berubah menjadi batu yang membentuk dasar sungai. Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke arus, maka kepedihan dan rinduku akan berakhir, dan akhirnya aku melupakan semuanya.
         
         Di tepi sungai piedra aku duduk dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku terasa dingin, dan air mataku menetes ke air sungai dingin yang menggelegak melewatiku. Di suatu tempat entah di mana, sungai ini akan bertemu sungai lain, lalu yang lain lagi, hingga – jauh dari hati dan pandanganku – semuanya menyatu dengan lautan.

       Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat melupakan sungai piedra,  rumah tua di pegunungan pyrenee, kabut dan jalan-jalan yang kami lalui bersama.

         Aku akan melupakan jalan-jalan, pegunungan, dan padang-padang mimpi-mimpiku – mimpi-mimpi yang tak kan pernah menjadi kenyataan.

         Aku ingat “saat magis”ku – saat ketika sebuah “ya” atau “tidak” dapat mengubah hidup seseorang untuk selamanya. Rasanya sudah lama sekali. Sulit dipercaya baru minggu lalu aku menemukan cintaku lagi, dan kemudian kehilangan dirinya.

          Aku menulis kisah ini di tepi sungai piedra. Tanganku terasa beku, kakiku mati rasa, dan setiap menit aku ingin berhenti.

“Hiduplah. Mengenang hanya untuk orang-orang yang tua,” ia berkata.

       Mungkin cinta membuat kita menua sebelum waktunya – atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis – mencoba mengubah getir menjadi rindu, sepi menjadi kenangan. Sehingga ketika aku selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke piedra. Itulah yang dikatakan ibu-ibu  yang memberiku tempat menginap. Ketika itulah – seperti kata seseorang – air sungai akan memadamkan apa yang telah ditulis oleh lidah api.

Semua kisah cinta tiada berbeda
.................................................................................................................

*membaca buku-buku om paulo selalu saja menimbulkan pertanyaan terhadap hal-hal yang dianggap sudah mapan dan seharusnya, serta menciptakan perenungan untuk mengungkap makna di balik pertanda yang ditangkap dan diceritakan om paulo lewat buku-bukunya. Bagi anda, silakan diartikan sendiri maksud dari rangkaian kalimat om paulo ini. Namun bagi saya artinya dingin-dingin cekit-cekit digigitin ikan-ikan yang makin lama makin berkurang saja jumlahnya ...