Teori Elite : Kekuasaan dalam berbagai perspektif aktor-elite

Tulisan ini hendak menjelaskan kekuasaan dari perspektif aktor-elite, dimana kekuasaan dikaji dalam bingkai bagaimana kekuasaan didistribusikan. Distribusi kekuasaan ini menawarkan beberapa model yang berbeda. Model yang pertama adalah adalah model elitis yang menawarkan gagasan bahwa kekuasaan terdistribusi secara tidak merata yang pada gilirannya memunculkan kelompok elit dan kelompok massa. Model yang kedua adalah model pluralis yang menyatakan bahwa kekuasaan tidak terbagi secara merata sebagaimana dalam model elitis, tetapi kekuasaan terdistribusi diantara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Sedangkan model populis memandang kekuasaan dengan mendasarkan pada asumsi bahwa setiap individu yang di masyarakat mempunyai hak dan harus terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan, dan oleh karena itu kekuasaan harus didistribusikan kepada setiap individu tanpa kecuali (Haryanto, 2005).
Perspektif aktor-elite ini memandang kekuasaan dengan model elitis, dimana model ini memunculkan kedua kelompok masyarakat, yaitu sejumlah kecil masyarakat yang memiliki kekuasaan  besar yang dikenal dengan sebutan elit, dan anggota masyarakat yang dalam jumlah banyak tetapi tidak memiliki kekuasaan. Model ini menggunakan asumsi bahwa dalam setiap masyarakat tidak pernah memiliki distribusi kekuasaan secara merata. Asumsi yang kedua adalah orang yang memerintah dalam satu masyarakat lebih sedikit daripada orang yang diperintah. Itulah sebabnya mengapa elite selalu dirumuskan sebagai sekelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan. Asumsi ketiga, diantara elite terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti mempertahankan status sebagai elit (Surbakti, 2010).

Para “elite theorist” seperti Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, Guido Dorso, Robert Putnam, dan lainnya mengungkapkan distribusi kekuasaan dengan cara yang berbeda-beda. Tetapi ada benang merah diantara pemikiran para elite theorist yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam lapangan politik. Benang merah itu adalah kekuasaan politik, seperti halnya social goods lainnya didistribusikan secara tidak merata. Oleh karena tidak meratanya distribusi, maka masyarakat dikelompokkan menjadi dua, orang atau sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan politik penting (elit) dan mereka yang tidak memilikinya (massa). Secara internal, elite bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok (memiliki latar belakang yang mirip, memiliki nilai-nilai kesetiaan dan kepentingan bersama). Elite mengatur sendiri kelangsungan hidupnya dan keanggotaannya berasal dari satu apisan masyarakat yang sangat terbatas (eksklusif). Elite pada dasarnya otonom, kebal akan gugatan dari siapapun di luar kelompoknya.
Dalam masyarakat yang relatif kecil dan homogen (homogenous-geimenschaft), ada kecenderungan elit berbentuk tunggal dan memiliki pengaruh dan kekuasaan di seluruh cabang kehidupan seperti ekonomi, politik dan kultural. Sedangkan dalam masyarakat yang kompleks, dan heterogen (heterogenous-geselschaft), ada kecenderungan elit yang banyak ragamnya. Di setiap cabang-cabang kehidupan yang penting (ekonomi, sosial, politik), akan muncul sekelompok orang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada yang lain. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang ekonomi, dinyatakan sebagai elit di bidang ekonomi. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang politik dinyatakan sebagai elit di bidang politik. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam lebih dari satu bidang kehidupan. Dimungkinkan juga yang bersangkutan selain menjadi elit di bidang ekonomi menjadi elit di bidang politik.  
Perspektif aktor-elite yang pertama adalah perspektif Gaetano Mosca. Mosca memandang bahwa distribusi kekuasaan dalam masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol. Pertama, kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan kekuasaan. Kedua, kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan  paksaan.
Perspektif berikutnya adalah perspektif Vilfredo Pareto. Pareto mendefinisikan elit dengan dua cara (Bottomore, 1966). Cara yang pertama didefinisikan dengan cara yang umum. Untuk menjelaskan pengertian elit, Pareto mengajak untuk mengamati kehidupan masyarakat dengan segala macam aktivitas yang ada di dalamnya. Setiap cabang kehidupan yang ada di masyarakat, aktivitas yang dilakukan setiap individu yang menjadi anggota masyarakat terebut diberi angka indeks sebagai penunjuk kemampuannya. Sebagai contoh dalam cabang ekonomi, seorang pengusaha yang berhasil berpenghasilan setiap bulan mencapai angka ratusan juta rupiah diberi angka indeks 10, pengusaha lain yang menghasilkan jutaan rupiah perbulan diberi angka indeks 6, sedangkan pengusaha yang berpenghasilan puluhan ribu rupiah tiap bulan diberi angka indeks 1. Anggota masyarakat yang memperoleh angka indeks yang relatif tinggi dalam cabang kehidupan tertentu yang digelutinya, maka yang bersangkutan termasuk dalam kelompok yang disebut elit pada cabang kehidupan tersebut. sementara anggota masyarakat lainnya yang memiliki angka indeks rendah pada cabang kehidupan yang bersangkutan dengan sendirinya tidak termasuk dalam golongan elit.
Pareto sendiri tidak menggunakan lebih lanjut konsep elit ini. Konsep ini semata berfungsi untuk menekankan ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap kehidupan sosial sebagai definisi awal “elit yang memerintah”, yang merupakan bahasan sebenarnya sekaligus sebagai cara kedua pareto menerangkan elit. Cara kedua ini adalah cara khusus yang biasa dipakai dalam kajian tentang keseimbangan sosial. Pareto lebih jauh membagi kelas elit menjadi elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non governing elit).  Jadi ada dua lapisan dalam masyarakat : (1) lapisan yang rendah (non elite) dan (2) lapisan tinggi (elit) yang terbagi menjadi dua, (a) elite yang memerintah, (b) elit yang tidak memerintah. 
 Pareto dan Mosca menggambarkan masyarakat terdiri dari 2 lapis, yaitu kelompok masyarakat yang termasuk dalam kelompok elit yang jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan lapis lainny ayang terdiri dari anggota masyarakat pada umumnya yang tidak termasuk dalam kelompok elit (non elite). Kelompok elite ini masih dibagi lagi menjadi dua, yaitu kelompok elit yang sedang memerintah (governing elit) yang terdiri dari individu-individu yang memiliki jabatan politis, dan elit yang sedang tidak memerintah (non governing elit) yang terdiri dari individu-individu yang tidak menduduki jabatan-jabatan politis tetapi mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi secara langsung pembuatan kebijaksanaan.
Perspektif berikutnya yaitu dari Guido Dorso, seorang political theorist dari Italia. Dorso menyatakan bahwa dalam masyarakat terdapat satu dikotomi, yaitu ada suatu kelompok masyarakat yang melakukan peran sebagai kelas yang memerintah dan sekelompok anggota masyarakat lainnya yang dalam jumlah yang lebih besar berperan sebagai kelas yang diperintah. Kelas yang sedang memerintah (the rulling class), dinyatakan sebagai kelompok yang mempunyai power atau kekuasaan. The rulling class dibagi lagi menjadi the political class yang merupakan technical instrument dari kelas yang memerintah, yang selanjutnya dibagi lagi menjadi goverment political class (the ins) dan the oposition political class (the outs). Dalam lapisan masyarakat yang memerintah (the rulling class) terdapat kelompok yang tidak tergabung dalam the political class yang tidak disebutkan namanya. Kemudian terdapat the ruled class yang merupakan kelompok yang diperintah dan jumlahnya banyak.
Perspektif berikutnya adalah pandangan Robert D. Putnam. Robert D. Putnam menjelaskan tiga strategi dalam mengidentifikasi elite politik. Pertama analisis posisi, yaitu siapa yang menduduki posisi puncak institusi formal. Namun analisis ini terdapat kritik yang mengabaikan adanya elit boneka dan kelompok tidak formal yang berpengaruh. Kedua adalah analisis reputasi. Analisis ini adalah mengidentifikasi siapa yang berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan. Yang ketiga adalah analisis keputusan yaitu dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, siapa yang membuat inisiatif dan siapa yang menentang.
Putnam juga melukiskan piramida kekuasaan yang terbagi enam lapisan dimana semakin ke atas semakin besar pula kekuasaannya. Kategori ini dibuat berdasarkan tingkat partisipasi individu dalam kehidupan politik. Lapisan pertama adalah kelompok pembuat keputusan (proximate decision maker). Lapisan kedua adalah kelompok yang berpengaruh, yaitu individu atau kelompok yang memiliki pengaruh secara tidak langsung dalam pembuatan keputusan. Lapisan ketiga adalah warganegara yang terlibat aktif dalam politik dan pemerintahan, seperti aktivis. Lapisan keempat adalah publik peminat politik (attentive public) yang tidak terlibat secara aktif dalam politik namun memberikan perhatian pada politik. Lapisan kelima adalah kaum pemilih (voters) yaitu warga negara yang mempengaruhi kehidupan politik hanya pada momen pemilu saja. Lapisan keenam adalah non partisipan yang tidak memiliki kekuatan sama sekali dan hanya menjadi objek politik. Golongan ini mungkin sengaja menghindarkan diri dari kehidupan politik, tidak melakukan apapun dalam kehidupan politik karena ketidaktahuannya atau diasingkan sama sekali dari politik oleh penguasa yang ada. 
 Perspektif berikutnya adalah menurut pandangan C. Wright Mills. Konsepsi Mills ini didasarkan pada riset yang dilakukan pada tahun 1972, tentang pemimpin-pemimpin di seluruh sektor baik politik, ekonomi, sosial, kultur dan institusi sipil di Amerika Serikat. Dari sini Mills menemukan bahwa kurang dari 250 orang yang menduduki posisi eksekutif, legislatif dan yudikatif pemerintahan federal mengontrol sekitar 40% perusahaan-perusahaan swasta dan 50% universitas. 200 orang perempuan dan lelaki mengontrol tiga perusahaan televisi dan sebagaian besar perusahaan media cetak. Dari riset tersebut kemudian dapat ditarik garis besar bahwa sejumlah sedikit orang telah membuat keputusan-keputusan penting bagi seluruh rakyat Amerika Serikat. Mills mengategorisasikan tiga penguasa elite, yaitu (a) pimpinan-pimpinan tertinggi termasuk presiden, anggota kabinet dan penasehat terdekat, (b) pemilik-pemilik perusahaan besar dan pimpinan-pimpinannya, (c) pimpinan-pimpinan lembaga militer.
Menurut Mills, elit tersebut tidak menghambat kebebasan sipil, sebaliknya mereka menghormati prinsip-prinsip hukum, melakukan kerja dengan transparan dan mereka tidak bisa dikategorikan sebagai diktator. Kekuasaan elit tersebut datang dari beberapa sumber. Pertama adalah pos-pos pejabat penting dalam masyarakat. Posisi-posisi ini memberikan mereka pengaruh tidak saja dalam pemerintahan tetapi juga bidang politik, keuangan, pendidikan, sosial dan institusi lainnya. Mereka kemudian melakukan kolaborasi dengan organisasi-organisasi industri dan militer. Kedua Mills menyebut kepentingan bersama yaitu memandang pemerintah sebagai entitas yang seharusnya menjamin iklim yang kondusif bagi bisnis. Mereka menyepakati sistem pasar bebas, kepemilikan swasta, distribusi kekayaan yang tidak merata termasuk konsentrasi kekuasaan. Kerja-kerja sosial dari negara adalah tugas kedua. Mereka terkonsolidasikan lewat kultur-kultur elit seperti menyekolahkan anaknya ke sekolah elit, pergi ke klub yang sama, membaca media yang sama, dan sebagainya.
Dengan demikian, bila Amerika Serikat digambarkan melalui piramida, maka level atas terdiri dari white house, the state departement, dan the pentagon serta sebagian senator ikut dilibatkan. Mereka hanya sebagai legitimasi belaka dibandingkan dengan pembuatan keputusan. Sedangkan di level dua oelh Mills ditempatkan di lingkaran luar elit, mereka mengikuti pemilihan umum, menempati jabatan-jabatan publik tetapi tidak membuat keputusan yang signifikan. Kepentingan yang mereka bawa hanyalah populisme personal yang di blow up media, namun tidak kontributif terhadap isu-isu penting. Publik di Amerika juga tidak memegang peranan-peranan signifikan. Hal ini terlihat dari partisipasi mereka dalam pemilihan umum yang semakin lama semakin kecil.
Teori elit Mills ini menyimpulkan kenapa terjadi public silence : pertama adalah dibuatnya agenda-agenda penting seperti kebijakan ekonomi dan keamanan nasional oleh kekuasaan para elit. Yang kedua adalah level tengah yang memegang peranan sedikit dan publik sama sekali dikunci. Termasuk demokrasi prosedural yang dijadikan legitimasi bagi pemerintahan adalah salah satu bentuk nyata manifestasi yang menjadi monopoli kelas elite dimana kelompok-kelompok politik penguasa berkonspirasi degnan kelompok kapitalis merumuskan arah pembangunan. Pemilu dan mekanisme demokrasi hanyalah ritual monopoli kaum elit.
Perspektif berikutnya berasal dari kaum neo marxis yang membagi masyarakat kapitalistik ke dalam tiga strata, yaitu the big borjuis, petty borjuism (kelas menengah dan kelas pekerja. The big borjuis adalah kapitalist rulling class yang memiliki faktor produksi (modal), sedangkan kelas pekerja adalah kelas yang dieksploitasi dalam sistem produksi kapitalisme. Di tengah-tengah antaranya terdapat kelas petty borjuis yang terdiri dari empat keompok, yaitu pertama adalah kelompok profesional, dokter dan sebagainya. Kedua adalah pemilik perusahaan kecil dan menengah, kemudian kelas menengah lama, yaitu petani-petani kecil dan pengrajin, dan white collars, seperti manajer.

No comments: