Review Buku Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indonesia

Judul buku      : Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indonesia
Editor              : Chris Manning dan Sudarno Sumarto
Penerbit           : ISEAS (Institute of South East Asian Studies), Singapore
Bagian review : Part 4, connecting with the poor : Goverment Policies and programs
  Chapter 13, the evolution of poverty allevation policies : ideas, issues and actors
  Chapter 14, reducing poverty by increasing community and family participation
  Chapter 15, targeting of the poor and vulnerable
  Chapter 16, Social assistance : understanding the gaps

Kemiskinan di Indonesia merupakan permasalahan klasik yang terus berlangsung sampai dengan saat ini dan tak kunjung menemukan ujung penyelesaiannya. Pemerintah yang berkuasa memegang tanggung jawab terbesar dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ini, karena kemiskinan merupakan penghalang utama dalam mencapai tujuan negara yang terumus dalam konstitusi kita : kesejahteraan umum. Sebagai bentuk tanggung jawab,  pemerintah telah merumuskan dan menerapkan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, dari sejak jaman kemerdekaan Indonesia sampai pergantian dari rejim ke rejim penguasa. Sejak merdeka sampai dengan saat ini, berbagai kebijakan dan program tersebut secara statistik memang berhasil menurunkan angka kemiskinan. Namun saat inipun angka kemiskinan masih cukup tinggi, mencapai 13,02% total penduduk Indonesia, atau masih lebih dari 31 juta rakyat Indonesia. Artinya pemerintah masih memiliki PR besar untuk memberantas kemiskinan dan menghadirkan kesejahteraan untuk rakyatnya.
Review buku ini menghadirkan pembahasan mengenai Kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang menghubungkan dengan orang miskin, dalam rangka pengentasan kemiskinan. Dalam chapter 13, the evolution of poverty alleviation policies : ideas, issues and actors dibahas secara gamblang mengenai evolusi kebijakan dan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pada saat orde baru dan kemudian beralih ke krisis ekonomi dan reformasi. Dalam peralihan masa ini, kebijakan dan program pemerintah mengalami perubahan-perubahan dalam konsepsi ide dan aktor yang terlibat untuk menghadapi isu yang berkembang saat itu. Hal-hal ini semata untuk mendapatkan program penanggulangan kemiskinan yang efektif, dimana efektivitas ini akan tercapai dengan komitmen serius dan aksi nyata dari para pemimpin politik. Perubahan konstelasi politik dan struktur pemerintahan dari orde baru ke reformasi dimana terjadi keterbukaan politik, desentralisasi dan sistem politik, membawa perubahan pula pada pola-pola kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami permasalahan kemiskinan yang serius. Pada tahun 1950 sampai awal 1960 sangat sedikit yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kemiskinan. Pemerintahan Soekarno saat itu dengan demokrasinya, malah mengakibatkan ekonomi jatuh dan kemiskinan sangat tinggi. Pada masa orde baru dengan teknokrasinya membangun ekonomi dan memfokuskan pada stabilitas ekonomi makro untuk mengurangi inflasi, menstabilkan harga dan menumbuhkan ekonomi. Tujuan reformasi ekonomi orde baru saat itu bukan untuk mengurangi kemiskinan dengan menjalankan program yang mentarget langsung ke orang miskin. Baru pada dua dekade berikutnya pembangunan ekonomi dikombinasikan dengan program kesejahteraan sosial seperti swasembada pangan, pendidikan, gizi, pembangunan jalan dan infrastruktur yang kemudian memberikan kontribusi besar terhadap penanggulangan kemiskinan. Namun ternyata tidak semua rakyat Indonesia menikmati program pengentasan kemiskinan orde baru. Keluarga miskin terutama di desa masih terjebak dalam kemiskinan.kemudian pada 1994, pemerintah melalui Bappenas memberikan pendampingan selama 3 tahun ke 2000 desa yang miskin dan tertinggal di negara ini. Program ini dinamakan Inpres Desa tertinggal, yang menggunakan target geografis untuk mengidentifikasi desa yang dapat bantuan dan menggunakan mekanisme block grant yang kemudian dibentuk sistem revolving modal yang digunakan untuk kaum miskin. Meskipun menghasilkan efek positif, tetapi program ini banyak catatan, antara lain mengenai efektivitas metode pentargetan program dan pencapaian tujuan kebijakan yang menjadi PR serius bagi Bappenas.
Krisis ekonomi 1997 membuat lebih banyak orang terjerembab ke dalam kemiskinan. Sekitar 49 juta atau 24% rakyat masuk ke kemiskinan. Kemudian terjadi peralihan kekuasaan dari orde baru ke reformasi. Pemerintahan yang baru segera meluncurkan program kesejahteran sosial darurat, yaitu program Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS ini didanai dari pinjaman luar negeri. JPS merupakan program payung dengan turunan program penciptaan lapangan kerja (program padat karya, block grant dan kredit usaha kecil), program keamanan pangan, akses kesehatan dasar, dan paket bantuan pendidikan. JPS diharapkan menjadi bantuan darurat langsung kepada kaum miskin, tetapi kenyataannya program ini sasarannya meleset, tidak pas langsung pada orang yang miskin.
Pasca krisis ekonomi, kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil pemerintah lebih variatif. Sebagai contoh kebijakan untuk memperluas target bantuan sebagai kompensasi atas kebijakan pengurangan subsidi BBM. Kenaikan harga minyak dunia dan besarnya beban subsidi BBM yang ditanggung pemerintah membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi BBM yang berakibat pada naiknya harga BBM. Sebagai kompensasinya, pemerintah mengalokasikan dana lebih banyak untuk program penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan sosial termasuk memperluas target sasaran programnya. Pemerintah mengalokasikan 11 triliun untuk program pemberian uang langsung atau yang dikenal dengan BLT (bantuan langsung tunai). Selain itu masih ada program-program lain yang menyasar orang miskin, antara lain program pembangunan infrastruktur desa, program kompensasi pendidikan dan kesehatan. Pada pertengahan 2005 diluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menyasar langsung ke sekolah-sekolah. Kemudian dalam bidang kesehatan diluncurkan asuransi sosial untuk orang miskin dengan nama Askeskin. Sebagai pengaman atas naiknya BBM, program BLT diluncurkan dengan memberikan uang tunai sebesar 100 ribu rupiah per bulan selama 12 bulan bagi 15 juta masyarakat miskin. Kali ini metode mentarget sasaran dengan pendekatan baru yang dirasa lebih efektif dan tepat sasaran. Pada kenaikan harga minyak tahun 2008 program BLT juga diberikan lagi, namun kali ini menjadi bola politik dengan isu pemenangan kembali incumbent presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu 1999.
Selain pemberian uang secara langsung lewat BLT, pemerintah juga mengembangkan program pengentasan kemiskinan yang memberikan uang secara sementara untuk mengatasi kemiskinan yang kronis. Program ini adalah PNPM. PNPM merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PNPM ini menyediakan block grant dana kepada komunitas masyarakat lokal. PNPM ini adalah program sementara yang memberikan transfer uang langsung dari pusat kepada level terbawah dan melibatkan sesedikit mungkin birokrasi yang ditengarai sebagai sarang korupsi. PNPM ini menyasar komunitas dengan harapan langsung melibatkan masyarakat miskin dan perempuan sehingga efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Sebagai pelengkap, diluncurkanlah Program Keluarga Harapan (PKH). PKH ini diluncurkan di 7 provinsi dengan tujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta memberika pendidikan dasar dan menengah kepada orang miskin. Program ini diurusi oleh kementerian sosial. Namun PNPM di bawah urusan kementerian dalam negeri. Partisipan dari program PKH dan program PNPM Generasi ini hampir sama, sehingga kedua program ini harus lebih jelas dan tidak tumpang tindih. Sebagai informasi, keberhasilan PNPM ini telah nampak dan dirasakan oleh masyarakat indonesia terutama dalam membangun infrastruktur pedesaan.
Kebijakan pengentasan kemiskinan, akhir-akhir ini menjadi isu politis, sehingga muncullah politik kemiskinan. Politik kemiskinan ini membahas beberapa isu dan tantangan, antara lain yang pertama adalah berapa banyak uang yang dialokasikan untuk program kesejahteraan sosial. Persentase penggunaan anggaran dan nilai anggaran untuk penangulangan kemiskinan ini meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan anggaran ini antara lain transfer anggaran ke daerah dan pengeluaran pemerintah pusat untuk penganggulangan kemiskinan yang pada tahun 2010 meningkat sampai 48 persen.
Isu dan tantangan yang kedua adalah dari legislatif. Dugaan politisasi BLT mengakibatkan para anggota DPR menuntut adanya dana aspirasi yang dikuasakan pada masing-masing anggota DPR untuk selanjutnya diberikan kepada konstituennya. Hal ini untuk meningkatan popularitas para anggota parlemen. Tetapi hal ini ditolak karena diindikasi menjadi lahan korupsi baru.
Isu berikutnya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Tiap tahun sekitar 30 persen belanja pemerintah pusat diberikan kepada pemerintah daerah. Harapannya dengan ditopang oleh pendapatan lokal daerah dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur, menyediakan pelayanan publik dan mengurangi kemiskinan di daerah. Tetapi hal ini masih menuai tantangan dengan banyaknya kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran publiknya.
Isu terakhir yaitu terkait dengan agensi dan koordinasi. Program penanggulangan kemiskinan dahulu hanya dipusatkan di satu agensi, yaitu Bappenas. Namun, saat ini banyak sekali yang mengurusi program penanggulangan kemiskinan, seperti Bappenas sendiri, Kementerian dalam negeri, kementerian sosial, Kemenko kesra, dan satu lagi lembaga yang dibentuk adalah tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah wakil presiden. Hal ini memunculkan kerumitan terkait koordinasi yang dilakukan. Apalagi tanpa dukungan politis, gerak TNP2K untuk mengkoordinasikan penanggulangan kemiskinan antar agensi sangat berat.
Tantangan-tantangan dan isu-isu ini harus segera direspon pemerintah dengan memperbanyak dana untuk penanggulangan kemiskinan, bukan hanya dari pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah, mekanisme demokrasi dan check-balances tetap dijaga namun jangan sampai menjadi ganjalan program, desentarlisasi yang tidak siginifikan terhadap penanggulangan kemiskinan harus dievaluasi dan pemerintah pusat berkewajiban melakukan penataan kembali koordinasi program-program penanggulangan kemiskinan.
 Pada chapter 14, dibahas mengenai pengurangan kemiskinan melalui peningkatan partisipasi komunitas dan perempuan. Dalam tulisan ini dibahas mengenai partisipasi komunitas masyarakat dan perempuan dalam program penanggulangan kemiskinan. Partisipasi komunitas dan perempuan ini difokuskan dalam 2 program, yaitu program PNPM dan PKH. PNPM sebagai program anti-kemiskinan memiliki konsep paradigma pembangunan yang bottom up dan pemanfaatan potensi lokal. PNPM ini merupakan gabungan dari program pengembangan kecamatan (PPK) dan Program kemiskinan kota ditambah dengan proyek bantuan block grant untuk desa, program pengembangan infrastruktur desa serta peningkatan pendapatan petani dan nelayan. Program PNPM ini akan habis ketika pendanaan dari donor terhenti.
PNPM merupakan program payung yang bertujuan membuka lapangan kerja dan pemberdayaan komunitas. PNPM terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan geografis dan berdasarkan sektor. PNPM ini memberikan peningkatan kapasitas kepada komunitas untuk mengatasi masalahnya sendiri. PNPM memberikan block grant secara langsung kepada komunitas dengan pendampingan dari fasilitator yang merupakan agen perubahan. PNPM ini memiliki tiga mekanisme, yaitu perencanaan program yang dibina dan dianggarkan oleh Bappenas, implementasi yang dilakukan oleh kementerian teknis terkait dan koordinasi program yang dilakukan oleh kemenko kesra. Pembentukan TNP2K akhirnya membuat koordinasi dengan PNPM tidak jelas.
Evaluasi PNPM menunjukkan bahwa dana block grant PNPM kebanyakan digunakan untuk menyediakan atau memperbaiki infrastruktur skala kecil. Kemudian hal ini menimbulkan efek domino seperti membuka lapangan pekerjaan dan membuka isolasi area. Dana ini memberikan dampak signifikan terhadap tingkat pengangguran dan kemiskinan. PNPM ini menjadi jaring pengaman di desa yang efektif terutama pada saat musim dimana petani menganggur (off season). Kemudian untuk partisipasi perempuan, PNPM ini memberikan akses khusus berupa simpan pinjam khusus perempuan. Hal ini meningkatkan partisipasi dan kepercayaan diri perempuan melalui simpan pinjam dengan model perguliran modal. Meski demikian PNPM masih memiliki tantangan untuk menurunkan kemiskinan. Keberhasilan PNPM belum nampak dalam kehidupan masyarakat desa yang termiskin. Block grant yang diarahkan ke pembangunan infrastruktur memberi manfaat pada kelompok miskin ataupun tidak, tetapi tidak memberikan efek langsung pada konsumsi masyarakat miskin.
PNPM merupakan salah satu komponen dari strategi yang lebih lebar daripada pengentasan kemiskinan. Lebih jauh dari penanggulangan kemiskinan, pemerintah ingin program ini juga menumbuhkan sektor yang memberikan manfaat pada orang miskin. PNPM berfokus pada penggunaan sumber daya lokal dan pembangunan infrastruktur desa untuk diversifikasi bisnis di desa, menumbuhkan UMKM dan memberikan akses lebih baik ke sumber daya dan pasar.
Karena PNPM ini adalah program ad hoc yang pendanaannya berasal dari pinjaman luar negeri, maka keberlanjutan PNPM perlu dipikirkan. Untuk itu pertama perlu keterlibatan semua pihak, termasuk kementerian teknis, pemerintah lokal dan korporasi untuk lebih berperan dalam mentarget kemiskinan, termasuk mengidentifikasi kantong-kantong kemiskinan yang berada di desa. kemudian program yang ditujukan ke masing-masing desa harus memberikan manfaat pada kaum tidak berpunya. Dan ketiga meningkatkan kapasitas pemerintah lokal untuk mengambil alih perencanaan yang pro miskin, penganggaran dan manajemen kebutuhan yang lebih baik.
Program berikutnya adalah program keluarga harapan (PKH) yang merupakan program pemberian uang tunai yang kondisional untuk memberikan bantuan kepada keluarga (khususnya kaum ibu) yang memberikan investasi jangka panjang kepada pendidikan dan kesehatan seluruh anggota keluarga. Kaum ibu yang diberikan akses dana ini karena asumsinya ibu lah yang memegang keuangan keluarga. Pendidikan dan kesehatan ini sekaligus indikator MDGs sehingga program ini juga ditujukan untuk mencapai goal MDGs pada 2015. Orang tidak bersekolah atau tidak mau memeriksakan kesehatannya biasanya karena alasan tidak punya uang, sehingga program ini memberikan uang cash untuk mengatasi masalah ini. PKH ini mentargetkan keluarga-keluarga termiskin, sehingga pemerintah mencoba menargetkan pendanaan program ini bukan dari anggaran sendiri, tapi menawarkan pada agensi internasional untuk mendukung program ini.
Program PKH telah meningkatkan jumlah kunjungan ibu dan anak ke fasilitas kesehatan lokal seperti puskesmas. Juga telah mengurangi jumlah siswa putus sekolah. Hal ini berarti tujuan program PKH untuk memperbaiki akses pendidikan dan kesehatan telah menunjukkan dampak yang signifikan. Tentunya dengan keterlibatan pemerintah lokal dan institusi pendidikan serta kesehatan yang ada di masyarakat.
Kedua program, PNPM dan PKH penting dan efektif menjaring keterlibatan komunitas dan perempuan dalam mencapai penurunan kemiskinan yang signifikan. Program ini juga telah memberikan peluang keterlibatan komunitas dan perempuan dalam pemberantasan kemiskinan. Strategi untuk melibatkan komunitas dan perempuan dalam mengurangi kemiskinan sangat menjanjikan. Tantangannya adalah mempertahankan dan meningkatkan hasil yang telah dicapai. Ke depan pemerintah pusat perlu mempengaruhi pemerintah daerah untuk lebih terlibat dan bertanggung jawab dalam PNPM dan PKH. Dengan program ini keterlibatan dalam pengambilan keputusan publik meningkat. Singkat kata, program ini telah berhasil sesuai tujuan kebijakannya hanya saja perlu banyak aksi dan keterlibatan dari pemerintah lokal untuk keberlanjutan program ke depannya.
Chapter 15, targeting of the poor and vulnerable membahas mengenai metode targeting yang dilakukan dalam program penanggulangan kemiskinan di Indonesia serta dampaknya, baik efektivitas program maupun efisiensi programnya. Dalam chapter ini diceritakan evolusi target dari program-program sosial dan kemudian dibahas pendekatan lain dalam mentarget si miskin dan diukur efektivitas program dengan metode target yang sekarang. Kemudian ditawarkan beberapa kemungkinan targeting untuk program-program yang akan dilakukan ke depan.
Generasi pertama program kesejateraan sosial yang mentargetkan rumah tangga adalah program JPS. Tetapi program ini tidak tepat menyasar kebanyakan orang termiskin. Selanjutnya adalah kebijakan kompensasi atas kenaikan harga BBM, dimana muncul kebijakan askeskin yang kemudian berubah menjadi jamkesmas, kebijakan BLT, dan raskin. Target dari kebijakan-kebijakan ini lebih lebar, dimana ditujukan kepada masyarakat miskin dan para rumah tangga dekat miskin selama krisis berlangsung.
Targeting ini penting karena terkait dengan efektivitas program dan juga ketersediaan sumber dana (efisiensi). Selain itu penduduk yang banyak, persebaran geografis dan struktur desentralisasi dikombinasikan dengan kesenjangan yang masih tinggi menguatkan pentingnya memilih metode targeting yang tepat. Metode targeting bervariasi. Suatu program dapat mentarget individual atau rumah tangga secara langsung, mentarget semua orang atau kantong kemiskinan, dan membuat program yang memungkinkan semua orang untuk mengaksesnya.
Dua metode utama yang sering digunakan di negara berkembang untuk mengakses secara langsung individu atau rumah tangga adalah proxy mean testing dan community based targeting. Proxy mean testing mengklasifikasikan rumah tangga sebagai miskin atau tidak berdasarkan karakteristik rumah tangga yang mudah diamati seperti lokasi, kepemilikan aset, demografi rumah tangga dan terkadang pendidikan atau pekerjaan orang tua. Indikator-indikator ini berhubungan langsung dengan status ekonomi rumah tangga dan dapat juga disederhanakan menjadi income dan belanja per bulan, misalnya. informasi ini harus diverifikasi oleh aparat dengan mengunjungi rumahnya. Sedangkan community based targeting menggunakan pengetahuan lokal untuk mengidentifikasi orang miskin dan tak berpunya. Dengan ini kepala komunitas atau representasi komunitas dapat dilibatkan untuk proses seleksi.
Ada pula metode targeting dengan kategoris. Kategoris ini biasanya mengklasifikasi sub kelompok yang boleh untuk mendapatkan program. Contohnya kesehatan anak-anak untuk usia 0-5 tahun, bantuan pendidikan untuk anak SD, bantuan dana untuk janda, dan lain-lain. Metode ini sering disebut juga targeting geografis. Biasanya di indonesia menggunakan metode targeting kategori ini dan digabungkan dengan metode lainnya. Yang terakhir adalah self targeting yang membolehkan semua orang mengakses manfaat proses program. Tetapi biaya untuk mendapatkan akses lebih kecil orang miskin daripada yang tidak miskin.
  Di Indonesia program kesejahteraan sosial biasnya menggunakan kombinasi targeting antara proxy mean testing, community based targeting, dan geographical targeting. Sebagai contoh program raskin, jamkesmas dan BLT, ketiganya mentarget orang miskin dan dekat miskin denan pendapatan perkapita sekitar 240 ribu per orang per bulan. Semua program sudah jelas menyasar orang dengan kategori tertentu, namun target yang tercapai tidak bisa 100%, karena sosialisasi program yang jelek dan praktek yang tidak konsisten di tingkat bawah. Hal ini menyebabkan target si miskin yang dimaksud mengalami bias.
Kenyataannya di Indonesia program-program pengentasan kemiskinan malah banyak dinikmati oleh masyarakat yang tidak miskin. Sehingga perlu untuk meningkatkan performa targeting di Indonesia.pertama perlu menentukan metode targeting mana yang paling cocok untuk konteks indonesia dan cara terbaik untuk melakukannya. Kedua, sosialisasi dan mengikat komitmen program ke semua lapisan yang perlu ditingkatkan performanya.
Sebagai contoh program keluarga harapan (PKH) yang menggunakan proxy mean testing dimana warga yang lebih miskin tidak mendapatkan program karena rumahnya lebih bagus, padahal sebenarnya lebih miskin. Hal ini membuat orang yang sebenarnya miskin malah tidak mendapatkan akses program. Program-program pengentasan kemiskinan di Indonesia ini menggunakan kombinasi proxy means testing, geographical targeting dan pendekatan community based untuk mentarget penerima manfaat. Ketika tiap program menggunakan pendekatan yang berbeda dalam targetingnya, karena sudah terbiasa operator di lapangan seringkali memperlakukan dengan pendekatan yang sama tiap program. Hal inilah yang membuat targeting menjadi tidak efektif.
Sebagai solusi kedepan perlu dikembangkan data kemiskinan yang bisa digunakan untuk targeting geografis. Kemudian BPS harus mengupdate survey kemiskinan secara berkala. 5 tahun sekali seperti survey BPS seringkali menimbulkan bias dan sudah banyak perubahan dalam masyarakat. Untuk efektivitas targeting ini yang paling penting adalah kejelasan program dan targetnya.
Chapter 16, sosial assistance : understanding the gaps memaparkan mengenai gaps yang terjadi antara maksud atau tujuan program dengan kenyataan riil yang terjadi di lapangan. Gaps ini antara lain orang yang berisiko miskin tidak tercover dalam program, beberapa kelompok miskin tidak tercover dalam program, dan beberapa anggota target group tidak memiliki akses ke program. Banyak sekali program kemiskinan, tetapi penurunan angka kemiskinan tidak signifikan. Bisa jadi gaps inilah penyebabnya.
Berdasarkan bukti gaps yang terjadi di lapangan antara lain adalah umur dalam keluarga. Beberapa responden dengan umur lebih dari 40 tahun merasakan diskriminasi dari program sosial pemerintah. orang tua yang memiliki rumah lebih bagus, namun lebih miskin dari yang muda yang rumahnya lebih jelek malah tidak mendapatkan program sosial. Rumah dijadikan indikator dan seringkali surveyor hanya melihat dari luarnya saja, sehingga meski rumahnya lebih bagus tapi masih miskin malah tidak dapat bantuan.
            Kemudian gaps yang lain adalah risiko yang dikover dalam program. Dalam program jamkesmas, masyarakat mengasumsikan semua biaya kesehatan bagi si sakit yang tidak mampu ditanggung oleh pemerintah, tetapi ternyata mereka harus tetap membanyar dan seringkali menjual asetnya untuk biaya pengobatan si sakit. Kemudian biaya transportasi ke puskesmas atau rumah sakit yang menyediakan jamkesmas terkadang sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh si miskin. Kemudian obat-obatan yang diberikan di puskesmas antara sakit yang satu dengan yang lain sama saja, sehingga masyarakat miskin tidak percaya pada puskesmas yang bersangkutan dan jaminan kesehatan yang diberikan. Masyarakat memilih untuk mengeluarkan uang lebih dan mendapatkan pelayanan yang lebih memuaskan daripada menggunakan jaminan kesehatan tetapi pelayanannya tidak memuaskan.
            Dalam bidang pendidikan, seringkali pendidikan gratis diberikan hanya sampai SMP. Padahal saat ini harapan untuk mengangkat derajat melalui pekerjaan yang layak, minimal adalah SMA. Jaminan pendidikan yang disediakan pemerintah baru sampai SMP, sehingga masyarakat merasa masih banyak biaya yang harus mereka keluarkan untuk pendidikan. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar, pekerjaan sehari-hari masyarakat dirasa tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka. Mereka dipekerjakan dengan upah rendah dan sistem kontrak yang sewaktu-waktu bisa dipecat. Akibatnya bantuan-bantuan tunai seringkali digunakan untuk konsumsi sehari-hari, bukan menjadi aset, karena mereka lebih butuh makan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
            Gaps ini seringkali menjadi masalah dalam targeting sasaran. Seringkali ketika survey ke suatu tempat, semuanya mengaku miskin. Hal ini karena mengaku miskin berarti mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bila tidak berarti tidak dapat apa-apa. Kemudian terjadi bias dalam targeting karena informasi yang didapatkan tidak lengkap, bahkan terkadang hanya melihat dari luar dan tidak langsung menemui responden.  Dengan adanya gaps ini diharapkan targeting yang dilakukan dengan suatu program lebih dipertajam lagi. Kemudian infomasi tentang suatu program harus lebih jelas ke masyarakat supaya tidak terjadi mispersepsi dalam masyarakat.
             

No comments: