Review Buku Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indonesia

Judul buku      : Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indonesia
Editor              : Chris Manning dan Sudarno Sumarto
Penerbit           : ISEAS (Institute of South East Asian Studies), Singapore
Bagian review : Part 4, connecting with the poor : Goverment Policies and programs
  Chapter 13, the evolution of poverty allevation policies : ideas, issues and actors
  Chapter 14, reducing poverty by increasing community and family participation
  Chapter 15, targeting of the poor and vulnerable
  Chapter 16, Social assistance : understanding the gaps

Kemiskinan di Indonesia merupakan permasalahan klasik yang terus berlangsung sampai dengan saat ini dan tak kunjung menemukan ujung penyelesaiannya. Pemerintah yang berkuasa memegang tanggung jawab terbesar dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ini, karena kemiskinan merupakan penghalang utama dalam mencapai tujuan negara yang terumus dalam konstitusi kita : kesejahteraan umum. Sebagai bentuk tanggung jawab,  pemerintah telah merumuskan dan menerapkan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, dari sejak jaman kemerdekaan Indonesia sampai pergantian dari rejim ke rejim penguasa. Sejak merdeka sampai dengan saat ini, berbagai kebijakan dan program tersebut secara statistik memang berhasil menurunkan angka kemiskinan. Namun saat inipun angka kemiskinan masih cukup tinggi, mencapai 13,02% total penduduk Indonesia, atau masih lebih dari 31 juta rakyat Indonesia. Artinya pemerintah masih memiliki PR besar untuk memberantas kemiskinan dan menghadirkan kesejahteraan untuk rakyatnya.
Review buku ini menghadirkan pembahasan mengenai Kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang menghubungkan dengan orang miskin, dalam rangka pengentasan kemiskinan. Dalam chapter 13, the evolution of poverty alleviation policies : ideas, issues and actors dibahas secara gamblang mengenai evolusi kebijakan dan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pada saat orde baru dan kemudian beralih ke krisis ekonomi dan reformasi. Dalam peralihan masa ini, kebijakan dan program pemerintah mengalami perubahan-perubahan dalam konsepsi ide dan aktor yang terlibat untuk menghadapi isu yang berkembang saat itu. Hal-hal ini semata untuk mendapatkan program penanggulangan kemiskinan yang efektif, dimana efektivitas ini akan tercapai dengan komitmen serius dan aksi nyata dari para pemimpin politik. Perubahan konstelasi politik dan struktur pemerintahan dari orde baru ke reformasi dimana terjadi keterbukaan politik, desentralisasi dan sistem politik, membawa perubahan pula pada pola-pola kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami permasalahan kemiskinan yang serius. Pada tahun 1950 sampai awal 1960 sangat sedikit yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kemiskinan. Pemerintahan Soekarno saat itu dengan demokrasinya, malah mengakibatkan ekonomi jatuh dan kemiskinan sangat tinggi. Pada masa orde baru dengan teknokrasinya membangun ekonomi dan memfokuskan pada stabilitas ekonomi makro untuk mengurangi inflasi, menstabilkan harga dan menumbuhkan ekonomi. Tujuan reformasi ekonomi orde baru saat itu bukan untuk mengurangi kemiskinan dengan menjalankan program yang mentarget langsung ke orang miskin. Baru pada dua dekade berikutnya pembangunan ekonomi dikombinasikan dengan program kesejahteraan sosial seperti swasembada pangan, pendidikan, gizi, pembangunan jalan dan infrastruktur yang kemudian memberikan kontribusi besar terhadap penanggulangan kemiskinan. Namun ternyata tidak semua rakyat Indonesia menikmati program pengentasan kemiskinan orde baru. Keluarga miskin terutama di desa masih terjebak dalam kemiskinan.kemudian pada 1994, pemerintah melalui Bappenas memberikan pendampingan selama 3 tahun ke 2000 desa yang miskin dan tertinggal di negara ini. Program ini dinamakan Inpres Desa tertinggal, yang menggunakan target geografis untuk mengidentifikasi desa yang dapat bantuan dan menggunakan mekanisme block grant yang kemudian dibentuk sistem revolving modal yang digunakan untuk kaum miskin. Meskipun menghasilkan efek positif, tetapi program ini banyak catatan, antara lain mengenai efektivitas metode pentargetan program dan pencapaian tujuan kebijakan yang menjadi PR serius bagi Bappenas.
Krisis ekonomi 1997 membuat lebih banyak orang terjerembab ke dalam kemiskinan. Sekitar 49 juta atau 24% rakyat masuk ke kemiskinan. Kemudian terjadi peralihan kekuasaan dari orde baru ke reformasi. Pemerintahan yang baru segera meluncurkan program kesejahteran sosial darurat, yaitu program Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS ini didanai dari pinjaman luar negeri. JPS merupakan program payung dengan turunan program penciptaan lapangan kerja (program padat karya, block grant dan kredit usaha kecil), program keamanan pangan, akses kesehatan dasar, dan paket bantuan pendidikan. JPS diharapkan menjadi bantuan darurat langsung kepada kaum miskin, tetapi kenyataannya program ini sasarannya meleset, tidak pas langsung pada orang yang miskin.
Pasca krisis ekonomi, kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil pemerintah lebih variatif. Sebagai contoh kebijakan untuk memperluas target bantuan sebagai kompensasi atas kebijakan pengurangan subsidi BBM. Kenaikan harga minyak dunia dan besarnya beban subsidi BBM yang ditanggung pemerintah membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi BBM yang berakibat pada naiknya harga BBM. Sebagai kompensasinya, pemerintah mengalokasikan dana lebih banyak untuk program penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan sosial termasuk memperluas target sasaran programnya. Pemerintah mengalokasikan 11 triliun untuk program pemberian uang langsung atau yang dikenal dengan BLT (bantuan langsung tunai). Selain itu masih ada program-program lain yang menyasar orang miskin, antara lain program pembangunan infrastruktur desa, program kompensasi pendidikan dan kesehatan. Pada pertengahan 2005 diluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menyasar langsung ke sekolah-sekolah. Kemudian dalam bidang kesehatan diluncurkan asuransi sosial untuk orang miskin dengan nama Askeskin. Sebagai pengaman atas naiknya BBM, program BLT diluncurkan dengan memberikan uang tunai sebesar 100 ribu rupiah per bulan selama 12 bulan bagi 15 juta masyarakat miskin. Kali ini metode mentarget sasaran dengan pendekatan baru yang dirasa lebih efektif dan tepat sasaran. Pada kenaikan harga minyak tahun 2008 program BLT juga diberikan lagi, namun kali ini menjadi bola politik dengan isu pemenangan kembali incumbent presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu 1999.
Selain pemberian uang secara langsung lewat BLT, pemerintah juga mengembangkan program pengentasan kemiskinan yang memberikan uang secara sementara untuk mengatasi kemiskinan yang kronis. Program ini adalah PNPM. PNPM merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PNPM ini menyediakan block grant dana kepada komunitas masyarakat lokal. PNPM ini adalah program sementara yang memberikan transfer uang langsung dari pusat kepada level terbawah dan melibatkan sesedikit mungkin birokrasi yang ditengarai sebagai sarang korupsi. PNPM ini menyasar komunitas dengan harapan langsung melibatkan masyarakat miskin dan perempuan sehingga efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Sebagai pelengkap, diluncurkanlah Program Keluarga Harapan (PKH). PKH ini diluncurkan di 7 provinsi dengan tujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta memberika pendidikan dasar dan menengah kepada orang miskin. Program ini diurusi oleh kementerian sosial. Namun PNPM di bawah urusan kementerian dalam negeri. Partisipan dari program PKH dan program PNPM Generasi ini hampir sama, sehingga kedua program ini harus lebih jelas dan tidak tumpang tindih. Sebagai informasi, keberhasilan PNPM ini telah nampak dan dirasakan oleh masyarakat indonesia terutama dalam membangun infrastruktur pedesaan.
Kebijakan pengentasan kemiskinan, akhir-akhir ini menjadi isu politis, sehingga muncullah politik kemiskinan. Politik kemiskinan ini membahas beberapa isu dan tantangan, antara lain yang pertama adalah berapa banyak uang yang dialokasikan untuk program kesejahteraan sosial. Persentase penggunaan anggaran dan nilai anggaran untuk penangulangan kemiskinan ini meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan anggaran ini antara lain transfer anggaran ke daerah dan pengeluaran pemerintah pusat untuk penganggulangan kemiskinan yang pada tahun 2010 meningkat sampai 48 persen.
Isu dan tantangan yang kedua adalah dari legislatif. Dugaan politisasi BLT mengakibatkan para anggota DPR menuntut adanya dana aspirasi yang dikuasakan pada masing-masing anggota DPR untuk selanjutnya diberikan kepada konstituennya. Hal ini untuk meningkatan popularitas para anggota parlemen. Tetapi hal ini ditolak karena diindikasi menjadi lahan korupsi baru.
Isu berikutnya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Tiap tahun sekitar 30 persen belanja pemerintah pusat diberikan kepada pemerintah daerah. Harapannya dengan ditopang oleh pendapatan lokal daerah dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur, menyediakan pelayanan publik dan mengurangi kemiskinan di daerah. Tetapi hal ini masih menuai tantangan dengan banyaknya kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran publiknya.
Isu terakhir yaitu terkait dengan agensi dan koordinasi. Program penanggulangan kemiskinan dahulu hanya dipusatkan di satu agensi, yaitu Bappenas. Namun, saat ini banyak sekali yang mengurusi program penanggulangan kemiskinan, seperti Bappenas sendiri, Kementerian dalam negeri, kementerian sosial, Kemenko kesra, dan satu lagi lembaga yang dibentuk adalah tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah wakil presiden. Hal ini memunculkan kerumitan terkait koordinasi yang dilakukan. Apalagi tanpa dukungan politis, gerak TNP2K untuk mengkoordinasikan penanggulangan kemiskinan antar agensi sangat berat.
Tantangan-tantangan dan isu-isu ini harus segera direspon pemerintah dengan memperbanyak dana untuk penanggulangan kemiskinan, bukan hanya dari pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah, mekanisme demokrasi dan check-balances tetap dijaga namun jangan sampai menjadi ganjalan program, desentarlisasi yang tidak siginifikan terhadap penanggulangan kemiskinan harus dievaluasi dan pemerintah pusat berkewajiban melakukan penataan kembali koordinasi program-program penanggulangan kemiskinan.
 Pada chapter 14, dibahas mengenai pengurangan kemiskinan melalui peningkatan partisipasi komunitas dan perempuan. Dalam tulisan ini dibahas mengenai partisipasi komunitas masyarakat dan perempuan dalam program penanggulangan kemiskinan. Partisipasi komunitas dan perempuan ini difokuskan dalam 2 program, yaitu program PNPM dan PKH. PNPM sebagai program anti-kemiskinan memiliki konsep paradigma pembangunan yang bottom up dan pemanfaatan potensi lokal. PNPM ini merupakan gabungan dari program pengembangan kecamatan (PPK) dan Program kemiskinan kota ditambah dengan proyek bantuan block grant untuk desa, program pengembangan infrastruktur desa serta peningkatan pendapatan petani dan nelayan. Program PNPM ini akan habis ketika pendanaan dari donor terhenti.
PNPM merupakan program payung yang bertujuan membuka lapangan kerja dan pemberdayaan komunitas. PNPM terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan geografis dan berdasarkan sektor. PNPM ini memberikan peningkatan kapasitas kepada komunitas untuk mengatasi masalahnya sendiri. PNPM memberikan block grant secara langsung kepada komunitas dengan pendampingan dari fasilitator yang merupakan agen perubahan. PNPM ini memiliki tiga mekanisme, yaitu perencanaan program yang dibina dan dianggarkan oleh Bappenas, implementasi yang dilakukan oleh kementerian teknis terkait dan koordinasi program yang dilakukan oleh kemenko kesra. Pembentukan TNP2K akhirnya membuat koordinasi dengan PNPM tidak jelas.
Evaluasi PNPM menunjukkan bahwa dana block grant PNPM kebanyakan digunakan untuk menyediakan atau memperbaiki infrastruktur skala kecil. Kemudian hal ini menimbulkan efek domino seperti membuka lapangan pekerjaan dan membuka isolasi area. Dana ini memberikan dampak signifikan terhadap tingkat pengangguran dan kemiskinan. PNPM ini menjadi jaring pengaman di desa yang efektif terutama pada saat musim dimana petani menganggur (off season). Kemudian untuk partisipasi perempuan, PNPM ini memberikan akses khusus berupa simpan pinjam khusus perempuan. Hal ini meningkatkan partisipasi dan kepercayaan diri perempuan melalui simpan pinjam dengan model perguliran modal. Meski demikian PNPM masih memiliki tantangan untuk menurunkan kemiskinan. Keberhasilan PNPM belum nampak dalam kehidupan masyarakat desa yang termiskin. Block grant yang diarahkan ke pembangunan infrastruktur memberi manfaat pada kelompok miskin ataupun tidak, tetapi tidak memberikan efek langsung pada konsumsi masyarakat miskin.
PNPM merupakan salah satu komponen dari strategi yang lebih lebar daripada pengentasan kemiskinan. Lebih jauh dari penanggulangan kemiskinan, pemerintah ingin program ini juga menumbuhkan sektor yang memberikan manfaat pada orang miskin. PNPM berfokus pada penggunaan sumber daya lokal dan pembangunan infrastruktur desa untuk diversifikasi bisnis di desa, menumbuhkan UMKM dan memberikan akses lebih baik ke sumber daya dan pasar.
Karena PNPM ini adalah program ad hoc yang pendanaannya berasal dari pinjaman luar negeri, maka keberlanjutan PNPM perlu dipikirkan. Untuk itu pertama perlu keterlibatan semua pihak, termasuk kementerian teknis, pemerintah lokal dan korporasi untuk lebih berperan dalam mentarget kemiskinan, termasuk mengidentifikasi kantong-kantong kemiskinan yang berada di desa. kemudian program yang ditujukan ke masing-masing desa harus memberikan manfaat pada kaum tidak berpunya. Dan ketiga meningkatkan kapasitas pemerintah lokal untuk mengambil alih perencanaan yang pro miskin, penganggaran dan manajemen kebutuhan yang lebih baik.
Program berikutnya adalah program keluarga harapan (PKH) yang merupakan program pemberian uang tunai yang kondisional untuk memberikan bantuan kepada keluarga (khususnya kaum ibu) yang memberikan investasi jangka panjang kepada pendidikan dan kesehatan seluruh anggota keluarga. Kaum ibu yang diberikan akses dana ini karena asumsinya ibu lah yang memegang keuangan keluarga. Pendidikan dan kesehatan ini sekaligus indikator MDGs sehingga program ini juga ditujukan untuk mencapai goal MDGs pada 2015. Orang tidak bersekolah atau tidak mau memeriksakan kesehatannya biasanya karena alasan tidak punya uang, sehingga program ini memberikan uang cash untuk mengatasi masalah ini. PKH ini mentargetkan keluarga-keluarga termiskin, sehingga pemerintah mencoba menargetkan pendanaan program ini bukan dari anggaran sendiri, tapi menawarkan pada agensi internasional untuk mendukung program ini.
Program PKH telah meningkatkan jumlah kunjungan ibu dan anak ke fasilitas kesehatan lokal seperti puskesmas. Juga telah mengurangi jumlah siswa putus sekolah. Hal ini berarti tujuan program PKH untuk memperbaiki akses pendidikan dan kesehatan telah menunjukkan dampak yang signifikan. Tentunya dengan keterlibatan pemerintah lokal dan institusi pendidikan serta kesehatan yang ada di masyarakat.
Kedua program, PNPM dan PKH penting dan efektif menjaring keterlibatan komunitas dan perempuan dalam mencapai penurunan kemiskinan yang signifikan. Program ini juga telah memberikan peluang keterlibatan komunitas dan perempuan dalam pemberantasan kemiskinan. Strategi untuk melibatkan komunitas dan perempuan dalam mengurangi kemiskinan sangat menjanjikan. Tantangannya adalah mempertahankan dan meningkatkan hasil yang telah dicapai. Ke depan pemerintah pusat perlu mempengaruhi pemerintah daerah untuk lebih terlibat dan bertanggung jawab dalam PNPM dan PKH. Dengan program ini keterlibatan dalam pengambilan keputusan publik meningkat. Singkat kata, program ini telah berhasil sesuai tujuan kebijakannya hanya saja perlu banyak aksi dan keterlibatan dari pemerintah lokal untuk keberlanjutan program ke depannya.
Chapter 15, targeting of the poor and vulnerable membahas mengenai metode targeting yang dilakukan dalam program penanggulangan kemiskinan di Indonesia serta dampaknya, baik efektivitas program maupun efisiensi programnya. Dalam chapter ini diceritakan evolusi target dari program-program sosial dan kemudian dibahas pendekatan lain dalam mentarget si miskin dan diukur efektivitas program dengan metode target yang sekarang. Kemudian ditawarkan beberapa kemungkinan targeting untuk program-program yang akan dilakukan ke depan.
Generasi pertama program kesejateraan sosial yang mentargetkan rumah tangga adalah program JPS. Tetapi program ini tidak tepat menyasar kebanyakan orang termiskin. Selanjutnya adalah kebijakan kompensasi atas kenaikan harga BBM, dimana muncul kebijakan askeskin yang kemudian berubah menjadi jamkesmas, kebijakan BLT, dan raskin. Target dari kebijakan-kebijakan ini lebih lebar, dimana ditujukan kepada masyarakat miskin dan para rumah tangga dekat miskin selama krisis berlangsung.
Targeting ini penting karena terkait dengan efektivitas program dan juga ketersediaan sumber dana (efisiensi). Selain itu penduduk yang banyak, persebaran geografis dan struktur desentralisasi dikombinasikan dengan kesenjangan yang masih tinggi menguatkan pentingnya memilih metode targeting yang tepat. Metode targeting bervariasi. Suatu program dapat mentarget individual atau rumah tangga secara langsung, mentarget semua orang atau kantong kemiskinan, dan membuat program yang memungkinkan semua orang untuk mengaksesnya.
Dua metode utama yang sering digunakan di negara berkembang untuk mengakses secara langsung individu atau rumah tangga adalah proxy mean testing dan community based targeting. Proxy mean testing mengklasifikasikan rumah tangga sebagai miskin atau tidak berdasarkan karakteristik rumah tangga yang mudah diamati seperti lokasi, kepemilikan aset, demografi rumah tangga dan terkadang pendidikan atau pekerjaan orang tua. Indikator-indikator ini berhubungan langsung dengan status ekonomi rumah tangga dan dapat juga disederhanakan menjadi income dan belanja per bulan, misalnya. informasi ini harus diverifikasi oleh aparat dengan mengunjungi rumahnya. Sedangkan community based targeting menggunakan pengetahuan lokal untuk mengidentifikasi orang miskin dan tak berpunya. Dengan ini kepala komunitas atau representasi komunitas dapat dilibatkan untuk proses seleksi.
Ada pula metode targeting dengan kategoris. Kategoris ini biasanya mengklasifikasi sub kelompok yang boleh untuk mendapatkan program. Contohnya kesehatan anak-anak untuk usia 0-5 tahun, bantuan pendidikan untuk anak SD, bantuan dana untuk janda, dan lain-lain. Metode ini sering disebut juga targeting geografis. Biasanya di indonesia menggunakan metode targeting kategori ini dan digabungkan dengan metode lainnya. Yang terakhir adalah self targeting yang membolehkan semua orang mengakses manfaat proses program. Tetapi biaya untuk mendapatkan akses lebih kecil orang miskin daripada yang tidak miskin.
  Di Indonesia program kesejahteraan sosial biasnya menggunakan kombinasi targeting antara proxy mean testing, community based targeting, dan geographical targeting. Sebagai contoh program raskin, jamkesmas dan BLT, ketiganya mentarget orang miskin dan dekat miskin denan pendapatan perkapita sekitar 240 ribu per orang per bulan. Semua program sudah jelas menyasar orang dengan kategori tertentu, namun target yang tercapai tidak bisa 100%, karena sosialisasi program yang jelek dan praktek yang tidak konsisten di tingkat bawah. Hal ini menyebabkan target si miskin yang dimaksud mengalami bias.
Kenyataannya di Indonesia program-program pengentasan kemiskinan malah banyak dinikmati oleh masyarakat yang tidak miskin. Sehingga perlu untuk meningkatkan performa targeting di Indonesia.pertama perlu menentukan metode targeting mana yang paling cocok untuk konteks indonesia dan cara terbaik untuk melakukannya. Kedua, sosialisasi dan mengikat komitmen program ke semua lapisan yang perlu ditingkatkan performanya.
Sebagai contoh program keluarga harapan (PKH) yang menggunakan proxy mean testing dimana warga yang lebih miskin tidak mendapatkan program karena rumahnya lebih bagus, padahal sebenarnya lebih miskin. Hal ini membuat orang yang sebenarnya miskin malah tidak mendapatkan akses program. Program-program pengentasan kemiskinan di Indonesia ini menggunakan kombinasi proxy means testing, geographical targeting dan pendekatan community based untuk mentarget penerima manfaat. Ketika tiap program menggunakan pendekatan yang berbeda dalam targetingnya, karena sudah terbiasa operator di lapangan seringkali memperlakukan dengan pendekatan yang sama tiap program. Hal inilah yang membuat targeting menjadi tidak efektif.
Sebagai solusi kedepan perlu dikembangkan data kemiskinan yang bisa digunakan untuk targeting geografis. Kemudian BPS harus mengupdate survey kemiskinan secara berkala. 5 tahun sekali seperti survey BPS seringkali menimbulkan bias dan sudah banyak perubahan dalam masyarakat. Untuk efektivitas targeting ini yang paling penting adalah kejelasan program dan targetnya.
Chapter 16, sosial assistance : understanding the gaps memaparkan mengenai gaps yang terjadi antara maksud atau tujuan program dengan kenyataan riil yang terjadi di lapangan. Gaps ini antara lain orang yang berisiko miskin tidak tercover dalam program, beberapa kelompok miskin tidak tercover dalam program, dan beberapa anggota target group tidak memiliki akses ke program. Banyak sekali program kemiskinan, tetapi penurunan angka kemiskinan tidak signifikan. Bisa jadi gaps inilah penyebabnya.
Berdasarkan bukti gaps yang terjadi di lapangan antara lain adalah umur dalam keluarga. Beberapa responden dengan umur lebih dari 40 tahun merasakan diskriminasi dari program sosial pemerintah. orang tua yang memiliki rumah lebih bagus, namun lebih miskin dari yang muda yang rumahnya lebih jelek malah tidak mendapatkan program sosial. Rumah dijadikan indikator dan seringkali surveyor hanya melihat dari luarnya saja, sehingga meski rumahnya lebih bagus tapi masih miskin malah tidak dapat bantuan.
            Kemudian gaps yang lain adalah risiko yang dikover dalam program. Dalam program jamkesmas, masyarakat mengasumsikan semua biaya kesehatan bagi si sakit yang tidak mampu ditanggung oleh pemerintah, tetapi ternyata mereka harus tetap membanyar dan seringkali menjual asetnya untuk biaya pengobatan si sakit. Kemudian biaya transportasi ke puskesmas atau rumah sakit yang menyediakan jamkesmas terkadang sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh si miskin. Kemudian obat-obatan yang diberikan di puskesmas antara sakit yang satu dengan yang lain sama saja, sehingga masyarakat miskin tidak percaya pada puskesmas yang bersangkutan dan jaminan kesehatan yang diberikan. Masyarakat memilih untuk mengeluarkan uang lebih dan mendapatkan pelayanan yang lebih memuaskan daripada menggunakan jaminan kesehatan tetapi pelayanannya tidak memuaskan.
            Dalam bidang pendidikan, seringkali pendidikan gratis diberikan hanya sampai SMP. Padahal saat ini harapan untuk mengangkat derajat melalui pekerjaan yang layak, minimal adalah SMA. Jaminan pendidikan yang disediakan pemerintah baru sampai SMP, sehingga masyarakat merasa masih banyak biaya yang harus mereka keluarkan untuk pendidikan. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar, pekerjaan sehari-hari masyarakat dirasa tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka. Mereka dipekerjakan dengan upah rendah dan sistem kontrak yang sewaktu-waktu bisa dipecat. Akibatnya bantuan-bantuan tunai seringkali digunakan untuk konsumsi sehari-hari, bukan menjadi aset, karena mereka lebih butuh makan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
            Gaps ini seringkali menjadi masalah dalam targeting sasaran. Seringkali ketika survey ke suatu tempat, semuanya mengaku miskin. Hal ini karena mengaku miskin berarti mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bila tidak berarti tidak dapat apa-apa. Kemudian terjadi bias dalam targeting karena informasi yang didapatkan tidak lengkap, bahkan terkadang hanya melihat dari luar dan tidak langsung menemui responden.  Dengan adanya gaps ini diharapkan targeting yang dilakukan dengan suatu program lebih dipertajam lagi. Kemudian infomasi tentang suatu program harus lebih jelas ke masyarakat supaya tidak terjadi mispersepsi dalam masyarakat.
             

Analisis Kebijakan Kenaikan Tarif Kereta Api Kelas Ekonomi

Belakangan ini santer isu akan dihapusnya kereta api kelas ekonomi. Isu kereta api kelas ekonomi ini sempat mencuat, namun kedatangan isu-isu lain yang lebih "seksi" menjadikan isu ini tertutupi. Kebijakan terkait dengan kereta api kelas ekonomi ini memang rawan, karena menyangkut keberpihakan negara pada penyediaan transportasi publik untuk warganya.  Tahun 2011 pernah ada wacana mengenai kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi. Saat itu saya menuliskan analisis sebagai tugas salah satu mata kuliah. Berikut analisis yang dulu saya tuliskan. semoga bermanfaat. 
Kereta api merupakan salah satu moda transportasi yang digunakan banyak orang. Tercatat pada tahun 2010 jumlah total penumpang yang menggunakan moda angkutan kereta api sebesar 201.930.000 orang, sedangkan angkutan barang sebesar 19.149.000 ton (Ditjen Perkeretaapian, 2011).Perkeretaapian juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem transportasi Indonesia. dan pengaturannya ditetapkan dengan UU No 23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian. Perkeretaapian ini diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional. (UU No 23 Tahun 2007).
Perkeretaapian ini dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Pembinaan ini diwujudkan dalam bentuk pengaturan, pegendalian dan pengawasan. Sedangkan untuk penyelenggaraan perkeretaapian, baik prasarana (jalur kereta api, stasiun kereta api, fasilitas operasional kereta api) dan sarananya (kereta api) dijalankan oleh Badan Usaha, baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah ataupun badan hukum di Indonesia yang khusus didirikan untuk perkeretaapian (UU No 23 Tahun 2007). Dalam menjalankan fungsinya, Pemerintah membentuk Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang menginduk Kementerian Perhubungan untuk mengurusi tentang perkeretaapian. Untuk menjalankan fungsinya sebagai pembina, pemerintah salah satunya dengan menyusun Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Tahun 2030 sebagaimana diamanatkan dalam UU No 23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian. Rencana ini merupakan arah kebijakan jangka panjang Pemerintah dalam perkeretaapian.
Penyelenggara perkeretaapian sampai saat ini hanya dilakukan oleh PT.KAI (Persero). Kemudian guna memberikan layanan  yang lebih baik pada angkutan kereta api komuter, telah menggunakan sarana Kereta Rel Listrik di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang (Serpong) dan Bekasi (Jabodetabek) serta pengusahaan di bidang usaha non angkutan penumpang PT. KAI (Persero) membentuk anak perusahaan PT. KAI Commuter Jabodetabek berdasarkan Inpres No. 5 tahun 2008 dan Surat Menneg BUMN No. S-653/MBU/2008 tanggal 12 Agustus 2008.  Regulasi mendorong keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan infrastruktur (Perpres No. 67 Tahun 2005), dan perkeretaapian diarahkan untuk dapat diselenggarakan oleh swasta. (RIPNas, 2011).
Dalam penyelenggaraan perkeretaapian ini, pemerintah tidak sepenuhnya melepaskan pada pihak lain (dalam hal ini PT.KAI), tetapi Pemerintah bertanggung jawab terhadap ketersediaan layanan kereta api yang menjangkau wilayah yang berada di pulau-pulau besar serta dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Tanggung jawab ini diwujudkan melalui penyediaan layanan kereta api kelas ekonomi dan kereta api perintis pada daerah-daerah yang belum tersedia jaringan prasarana KA. Untuk kereta api kelas ekonomi, pemerintah memberikan subsidi terhadap selisih pendapatan operasi berdasar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) operator melalui skema Public Service Obligation  (PSO). Untuk pelayanan angkutan perintis, Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberikan subsidi terhadap selisih tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan biaya operasi operator. Pengembangan kereta api perintis membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah terutama pada daerah-daerah yang belum tersedia jaringan prasarana KA, seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua. (RIPNas, 2011).
Kondisi saat ini, penyelengara kereta api dimonopoli oleh PT.KAI dan anak perusahannya PT.KAI Commuter Jabotabek. Keduanya masih memiliki direksi yang sama. Prasarana perkeretaapian sebagian besar dimiliki oleh Negara dan hanya sebagian yang dimiliki oleh PT. KAI. Sedangkan sarana perkeretaapian, merupakan kepemilikan PT. KAI yang berasal dari hibah negara. PT. KAI ini merupakan sebuah badan usaha yang berorientasi profit, sehingga untung-rugi menjadi pertimbangan utamanya. Dalam operasionalnya, PT.KAI diberi hak untuk menentukan sendiri kebijakannya, tetapi tetap berpegang pada regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Untuk kereta api kelas eksekutif dan bisnis, PT. KAI menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, tetapi untuk kereta api kelas ekonomi masih menjadi tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah  adalah memberikan subsidi lewat skema public service obligation. Public service obligation atau PSO adalah pengaturan di mana badan atau otoritas lain yang menawarkan sebuah lelang untuk subsidi, izin perusahaan pemenang monopoli untuk mengoperasikan layanan transportasi publik tertentu untuk jangka waktu tertentu untuk subsidi yang diberikan. Mekanisme pemberian dana PSO ini adalah dengan sistem reimbruse, yaitu dana PSO diaudit dulu baru dibayar.
 Dalam perumusan kebijakan penentuan tarif kereta api, termasuk kebijakan tentang kenaikan tarif kereta api ekonomi ini, dengan mekanisme dimana tiap tahun PT.KAI melakukan perhitungan tentang perkiraan Biaya Pokok Produksi (BPP) operator dan perkiraan penerimaan dari tarif kereta api yang telah ditentukan oleh pemerintah. Kemudian PT.KAI mengajukan perhitungan tersebut kepada pemerintah (dalam hal ini Kementerian Perhubungan) untuk diberikan subsidi,dengan mekanisme PSO. Dari sini perkiraan harga tiket kereta api kelas ekonomi sudah ditemukan perhitungannya. Pemerintah juga sudah memiliki perkiraan perhitungan sendiri, dan juga memiliki anggaran untuk subsidi berupa PSO yang sudah ditentukan oleh kementerian keuangan. Dalam penentuan tarif kereta api ekonomi, PT. KAI dan pemerintah mengadakan pertemuan bersama-sama untuk membahas perhitungan masing-masing dan besaran subsidi yang akan diberikan serta tarif kereta api kelas ekonomi yang ditetapkan. Setelah mencapai kesepakatan, pemerintah menetapkan kesepakatan tersebut dalam Peraturan Menteri Perhubungan tentang penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik angkutan orang dengan pelayanan kereta api kelas ekonomi tahun anggaran yang bersangkutan dan tentang penetapan tarif angkutan orang dengan kereta api kelas ekonomi dan perubahannya (apabila ada perubahan). Apabila ada keputusan kenaikan tarif, kenaikan ini tidak serta merta diberlakukan semenjak peraturan menteri disahkan, melainkan dilakukan sosialisasi terhadap rencana kenaikan tarif, mendengar aspirasi masyarakat dan apabila tidak ada keluhan berarti baru diberlakukan dengan tanggal tertentu yang ditetapkan (sekitar 3 bulan setelah ditetapkannya peraturan menteri tersebut).
Kebijakan kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi, terakhir ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.54 Tahun 2010 tentang perubahan kedua atas peraturan menteri perhubungan nomor 35 tahun 2010 tentang tarif angkutan orang kereta api kelas ekonomi yang ditetapkan pada 23 September 2010. Dalam peraturan ini, ditetapkan bahwa tarif kereta api kelas ekonomi ditetapkan menjadi sebesar hasil perhitungan evaluasi tarif angkutan orang dengan kereta api kelas ekonomi yang dilakukan pada akhir bulan Desember 2010. 
Dari hasil perhitungan dan kesepakatan antara PT.KAI sebagai penyelenggara dan pemerintah yang dilakukan pada akhir Desember 2010, ditetapkan kenaikan tarif kereta api ekonomi sebesar 8-20% yang berlaku mulai 8 Januari 2011. Besaran Kenaikan tarif yang diberlakukan  ini berbeda,tergantung dari jarak tempuh kereta api tersebut. Untuk kereta api ekonomi jarak jauh besaran kenaikannya antara Rp4.000–8.000 per penumpang, jarak sedang Rp1.000– 5.500,jarak dekat Rp500–2.000, Kereta Rel Diesel (KRD) Rp500– 1.500, dan Kereta Rel Listrik (KRL) Rp500–2.000 (Cristianto, 2011).
Kenaikan tarif kereta api ini diambil akhir Desember 2011 setelah terjadi kesepakatan antara PT.KAI sebagai penyelenggara perkeretaapian yang terikat perjanjian dengan pemerintah melalui PSO dengan pemerintah, dimana dengan melihat perhitungan dimana dari tahun ke tahun selisih antara biaya pokok produksi (BPP) operator dengan penerimaan tiket selalu lebih besar dari tahun ke tahun. Sementara subsidi yang diberikan melalui PSO untuk tahun 2011 sudah dipatok sebesar 639 milyar rupiah. Dari hasil perhitungan dimana biaya pokok produksi terus meningkat, sedangkan PSO sudah dipatok dan tidak bisa berubah, sehingga untuk menghindari kerugian PT.KAI, tarif kereta api kelas ekonomi diputuskan untuk dinaikkan. Kenaikan tarif ini akan diberlakukan per 8 Januari 2011. Masa selama putusan dikeluarkan dan pemberlakuan tarif baru, dilakukan sosialisasi dan mendengar masukan dari masyarakat. Pada waktu akan diberlakukan  tarif baru kereta api ekonomi, terdapat polemik di masyarakat, yang kemudian ditanggapi pemerintah dengan penundaan kenaikan tarif. Penundaan ini didasarkan pada pertimbangan masukan dari masyarakat dan pemerhati kereta api. Penundaan ini juga dilakukan karena dinilai waktunya belum tepat dan tuntutan perbaikan pelayanan PT.KAI baru kemudian kenaikan tarif bisa diberlakukan (b-watch,2011).
Terdapat hal yang janggal , yaitu kenaikan tarif sempat diberlakukan sehari pada tanggal 8 Januari 2011, yang kemudian dilakukan penundaan kenaikan tarif kereta api ekonomi yang berlaku tanggal 9 Januari 2011. Pemberlakuan sehari ini disebut oleh pemerintah berupa kesalahan operasional di lapangan (kontan, 2011). Pemberlakuan kenaikan tarif akan dilakukan dengan menunggu hasil survei tarif kereta api yang dilakukan pemerintah sekitar April 2011. Dalam jangka waktu itu pula PT KAI diminta untuk memperbaiki layanannya (politikana.com, 2011).
Dilihat dari  konteks kebijakan, Ripley (1985:49) mengungkapkan bahwa kebijakan menghendaki adanya siklus yang terus menerus dari mulai formulasi-evaluasi hingga reformulasi kebijakan , sehingga tidak heran jika dalam ranah kebijakan yang terjadi hanya formulasi dan reformulasi kebijakan (Indiahdono, 2009). Siklus ini pula yang digunakan oleh pemerintah untuk menetapkan kebijakan mengenai tarif angkutan orang kereta api kelas ekonomi. Formulasi kebijakan yang ditandai dengan penetapan kenaikan tarif kereta api, selalu dilakukan evaluasi kebijakan dan kemudian dilakukan reformulasi kebijakan untuk disesuaikan dengan konteks saat itu. Pada waktu kebijakan kenaikan tarif angkutan orang kereta api kelas ekonomi akan diberlakukan, karena konteks keadaan saat itu dimana menurut perkiraan akan berpengaruh pada ekonomi masyarakat, keadaan  sosial politik saat itu dan juga melihat pelayanan yang disediakan PT.KAI pada kereta api ekonomi yang masih minim dan tidak sesuai dengan standar pelayanan publik yang diatur dalam UU No 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, maka tepat kiranya keputusan tentang penundaan pemberlakuan kenaikan tarif dilakukan. Hal ini juga dengan mempertimbangkan masukan dari masyarakat dan pemerhati transportasi untuk menunda pemberlakuan kenaikan tarif sampai pelayanan kereta api ekonomi membaik.
Hal ini juga sesuai dengan logika rational choice, dimana kenaikan tarif harus diikuti dengan kenaikan pelayanan, yang selama ini dirasa pelayanannya masih sangat kurang. PT, KAI merupakan perusahaan  komersial yang menyediakan layanan kereta api. Semakin naik uang yang dikeluaran untuk mendapatkan pelayanan, seharusnya semakin naik pula pelayanan yang diberikan. Jangan hanya karena PT.KAI memonopoli perkeretapaian di Indonesia, PT KAI seenaknya dalam menaikkan tarif dan memberikan layanan seadanya. Sebelum menaikkan tarif kereta api ekonomi, pelayanan PT.KAI dalam kereta api ekonomi harus ditingkatkan.
Saat ini, harga tiket kereta api kelas ekonomi telah mengikuti kenaikan yang ditetapkan pada awal tahun yang sempat ditunda kemarin. Pelayanan kereta api kelas ekonomi juga mengalami kenaikan, antara lain dengan pemberlakuan Keputusan Direksi PTKA No.CP/104 dimana tidak ada lagi tiket berdiri atau tanpa tempat duduk sehingga keamanan dan kenyamanan pelayanan KA makin terjamin (Ariefyanto, 2011) . Tiap rangkaian kereta juga ada petugas keamanan untuk meminimalisir tindak kejahatan. Pengamen dan pedagang asongan ditertibkan, penumpang gelap kereta api tanpa tiket dengan tegas diturunkan di stasiun terdekat. Hal ini menunjukkan kebijakan dalam kenaikan tarif kereta api ekonomi tepat diberlakukan dalam konteks diimbangi kenaikan pelayanan kereta api ekonomi.  
  
  Sumber :

Ariefyanto, 2011. Tiket Berdiri Kereta Api Akan Dihentikan. dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/09/21/lruzc9-tiket-berdiri-di-kereta-api-akan-dihentikan diakses tanggal 14 November 2011
Bwatch.2011.Kenaikan tarif KA ekonomi ditunda, dalam http://bumnwatch.com/kenaikan-tarif-ka-ekonomi-ditunda/ diakses tanggal 14 November 2011
Cristianto, Ivan.2011. Kenaikan tarif kereta ekonomi 20%. Dalam http://economy.okezone.com/read/2011/01/07/320/411332/320/tarif-kereta-api-ekonomi-naik-20 diakses tanggal 14 November 2011
Ditjen Perkeretaapian, 2011. Rencana Induk Perkeretaapian Nasional. Kementerian Perhubungan RI
Kontan.2011. Kenaikan Tarif Kereta Ekonomi Baru April Mendatang. Dalam http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/56062/Kenaikan-tarif-kereta-ekonomi-berlaku-April-mendatang- diakses tanggal 14 November 2011
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.54 Tahun 2010 tentang perubahan kedua atas peraturan menteri perhubungan nomor 35 tahun 2010 tentang tarif angkutan orang kereta api kelas ekonomi
Politikana.2011. Kenaikan Tarif Kereta Ekonomi, Gagal. Dalam http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=16657 diakses tanggal 14 November 2011
Ripley, Randal B. 1985. Policy analysis in political science. Dalam Indiahdono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis.Penerbit Gava Media. Yogyakarta
Wawancara via telepon dengan staf Biro Perencanaan Kementerian Perhubungan RI, 14 November 2011
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian

Teori Elite : Kekuasaan dalam berbagai perspektif aktor-elite

Tulisan ini hendak menjelaskan kekuasaan dari perspektif aktor-elite, dimana kekuasaan dikaji dalam bingkai bagaimana kekuasaan didistribusikan. Distribusi kekuasaan ini menawarkan beberapa model yang berbeda. Model yang pertama adalah adalah model elitis yang menawarkan gagasan bahwa kekuasaan terdistribusi secara tidak merata yang pada gilirannya memunculkan kelompok elit dan kelompok massa. Model yang kedua adalah model pluralis yang menyatakan bahwa kekuasaan tidak terbagi secara merata sebagaimana dalam model elitis, tetapi kekuasaan terdistribusi diantara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Sedangkan model populis memandang kekuasaan dengan mendasarkan pada asumsi bahwa setiap individu yang di masyarakat mempunyai hak dan harus terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan, dan oleh karena itu kekuasaan harus didistribusikan kepada setiap individu tanpa kecuali (Haryanto, 2005).
Perspektif aktor-elite ini memandang kekuasaan dengan model elitis, dimana model ini memunculkan kedua kelompok masyarakat, yaitu sejumlah kecil masyarakat yang memiliki kekuasaan  besar yang dikenal dengan sebutan elit, dan anggota masyarakat yang dalam jumlah banyak tetapi tidak memiliki kekuasaan. Model ini menggunakan asumsi bahwa dalam setiap masyarakat tidak pernah memiliki distribusi kekuasaan secara merata. Asumsi yang kedua adalah orang yang memerintah dalam satu masyarakat lebih sedikit daripada orang yang diperintah. Itulah sebabnya mengapa elite selalu dirumuskan sebagai sekelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan. Asumsi ketiga, diantara elite terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti mempertahankan status sebagai elit (Surbakti, 2010).

Para “elite theorist” seperti Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, Guido Dorso, Robert Putnam, dan lainnya mengungkapkan distribusi kekuasaan dengan cara yang berbeda-beda. Tetapi ada benang merah diantara pemikiran para elite theorist yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam lapangan politik. Benang merah itu adalah kekuasaan politik, seperti halnya social goods lainnya didistribusikan secara tidak merata. Oleh karena tidak meratanya distribusi, maka masyarakat dikelompokkan menjadi dua, orang atau sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan politik penting (elit) dan mereka yang tidak memilikinya (massa). Secara internal, elite bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok (memiliki latar belakang yang mirip, memiliki nilai-nilai kesetiaan dan kepentingan bersama). Elite mengatur sendiri kelangsungan hidupnya dan keanggotaannya berasal dari satu apisan masyarakat yang sangat terbatas (eksklusif). Elite pada dasarnya otonom, kebal akan gugatan dari siapapun di luar kelompoknya.
Dalam masyarakat yang relatif kecil dan homogen (homogenous-geimenschaft), ada kecenderungan elit berbentuk tunggal dan memiliki pengaruh dan kekuasaan di seluruh cabang kehidupan seperti ekonomi, politik dan kultural. Sedangkan dalam masyarakat yang kompleks, dan heterogen (heterogenous-geselschaft), ada kecenderungan elit yang banyak ragamnya. Di setiap cabang-cabang kehidupan yang penting (ekonomi, sosial, politik), akan muncul sekelompok orang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada yang lain. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang ekonomi, dinyatakan sebagai elit di bidang ekonomi. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang politik dinyatakan sebagai elit di bidang politik. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam lebih dari satu bidang kehidupan. Dimungkinkan juga yang bersangkutan selain menjadi elit di bidang ekonomi menjadi elit di bidang politik.  
Perspektif aktor-elite yang pertama adalah perspektif Gaetano Mosca. Mosca memandang bahwa distribusi kekuasaan dalam masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol. Pertama, kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan kekuasaan. Kedua, kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan  paksaan.
Perspektif berikutnya adalah perspektif Vilfredo Pareto. Pareto mendefinisikan elit dengan dua cara (Bottomore, 1966). Cara yang pertama didefinisikan dengan cara yang umum. Untuk menjelaskan pengertian elit, Pareto mengajak untuk mengamati kehidupan masyarakat dengan segala macam aktivitas yang ada di dalamnya. Setiap cabang kehidupan yang ada di masyarakat, aktivitas yang dilakukan setiap individu yang menjadi anggota masyarakat terebut diberi angka indeks sebagai penunjuk kemampuannya. Sebagai contoh dalam cabang ekonomi, seorang pengusaha yang berhasil berpenghasilan setiap bulan mencapai angka ratusan juta rupiah diberi angka indeks 10, pengusaha lain yang menghasilkan jutaan rupiah perbulan diberi angka indeks 6, sedangkan pengusaha yang berpenghasilan puluhan ribu rupiah tiap bulan diberi angka indeks 1. Anggota masyarakat yang memperoleh angka indeks yang relatif tinggi dalam cabang kehidupan tertentu yang digelutinya, maka yang bersangkutan termasuk dalam kelompok yang disebut elit pada cabang kehidupan tersebut. sementara anggota masyarakat lainnya yang memiliki angka indeks rendah pada cabang kehidupan yang bersangkutan dengan sendirinya tidak termasuk dalam golongan elit.
Pareto sendiri tidak menggunakan lebih lanjut konsep elit ini. Konsep ini semata berfungsi untuk menekankan ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap kehidupan sosial sebagai definisi awal “elit yang memerintah”, yang merupakan bahasan sebenarnya sekaligus sebagai cara kedua pareto menerangkan elit. Cara kedua ini adalah cara khusus yang biasa dipakai dalam kajian tentang keseimbangan sosial. Pareto lebih jauh membagi kelas elit menjadi elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non governing elit).  Jadi ada dua lapisan dalam masyarakat : (1) lapisan yang rendah (non elite) dan (2) lapisan tinggi (elit) yang terbagi menjadi dua, (a) elite yang memerintah, (b) elit yang tidak memerintah. 
 Pareto dan Mosca menggambarkan masyarakat terdiri dari 2 lapis, yaitu kelompok masyarakat yang termasuk dalam kelompok elit yang jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan lapis lainny ayang terdiri dari anggota masyarakat pada umumnya yang tidak termasuk dalam kelompok elit (non elite). Kelompok elite ini masih dibagi lagi menjadi dua, yaitu kelompok elit yang sedang memerintah (governing elit) yang terdiri dari individu-individu yang memiliki jabatan politis, dan elit yang sedang tidak memerintah (non governing elit) yang terdiri dari individu-individu yang tidak menduduki jabatan-jabatan politis tetapi mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi secara langsung pembuatan kebijaksanaan.
Perspektif berikutnya yaitu dari Guido Dorso, seorang political theorist dari Italia. Dorso menyatakan bahwa dalam masyarakat terdapat satu dikotomi, yaitu ada suatu kelompok masyarakat yang melakukan peran sebagai kelas yang memerintah dan sekelompok anggota masyarakat lainnya yang dalam jumlah yang lebih besar berperan sebagai kelas yang diperintah. Kelas yang sedang memerintah (the rulling class), dinyatakan sebagai kelompok yang mempunyai power atau kekuasaan. The rulling class dibagi lagi menjadi the political class yang merupakan technical instrument dari kelas yang memerintah, yang selanjutnya dibagi lagi menjadi goverment political class (the ins) dan the oposition political class (the outs). Dalam lapisan masyarakat yang memerintah (the rulling class) terdapat kelompok yang tidak tergabung dalam the political class yang tidak disebutkan namanya. Kemudian terdapat the ruled class yang merupakan kelompok yang diperintah dan jumlahnya banyak.
Perspektif berikutnya adalah pandangan Robert D. Putnam. Robert D. Putnam menjelaskan tiga strategi dalam mengidentifikasi elite politik. Pertama analisis posisi, yaitu siapa yang menduduki posisi puncak institusi formal. Namun analisis ini terdapat kritik yang mengabaikan adanya elit boneka dan kelompok tidak formal yang berpengaruh. Kedua adalah analisis reputasi. Analisis ini adalah mengidentifikasi siapa yang berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan. Yang ketiga adalah analisis keputusan yaitu dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, siapa yang membuat inisiatif dan siapa yang menentang.
Putnam juga melukiskan piramida kekuasaan yang terbagi enam lapisan dimana semakin ke atas semakin besar pula kekuasaannya. Kategori ini dibuat berdasarkan tingkat partisipasi individu dalam kehidupan politik. Lapisan pertama adalah kelompok pembuat keputusan (proximate decision maker). Lapisan kedua adalah kelompok yang berpengaruh, yaitu individu atau kelompok yang memiliki pengaruh secara tidak langsung dalam pembuatan keputusan. Lapisan ketiga adalah warganegara yang terlibat aktif dalam politik dan pemerintahan, seperti aktivis. Lapisan keempat adalah publik peminat politik (attentive public) yang tidak terlibat secara aktif dalam politik namun memberikan perhatian pada politik. Lapisan kelima adalah kaum pemilih (voters) yaitu warga negara yang mempengaruhi kehidupan politik hanya pada momen pemilu saja. Lapisan keenam adalah non partisipan yang tidak memiliki kekuatan sama sekali dan hanya menjadi objek politik. Golongan ini mungkin sengaja menghindarkan diri dari kehidupan politik, tidak melakukan apapun dalam kehidupan politik karena ketidaktahuannya atau diasingkan sama sekali dari politik oleh penguasa yang ada. 
 Perspektif berikutnya adalah menurut pandangan C. Wright Mills. Konsepsi Mills ini didasarkan pada riset yang dilakukan pada tahun 1972, tentang pemimpin-pemimpin di seluruh sektor baik politik, ekonomi, sosial, kultur dan institusi sipil di Amerika Serikat. Dari sini Mills menemukan bahwa kurang dari 250 orang yang menduduki posisi eksekutif, legislatif dan yudikatif pemerintahan federal mengontrol sekitar 40% perusahaan-perusahaan swasta dan 50% universitas. 200 orang perempuan dan lelaki mengontrol tiga perusahaan televisi dan sebagaian besar perusahaan media cetak. Dari riset tersebut kemudian dapat ditarik garis besar bahwa sejumlah sedikit orang telah membuat keputusan-keputusan penting bagi seluruh rakyat Amerika Serikat. Mills mengategorisasikan tiga penguasa elite, yaitu (a) pimpinan-pimpinan tertinggi termasuk presiden, anggota kabinet dan penasehat terdekat, (b) pemilik-pemilik perusahaan besar dan pimpinan-pimpinannya, (c) pimpinan-pimpinan lembaga militer.
Menurut Mills, elit tersebut tidak menghambat kebebasan sipil, sebaliknya mereka menghormati prinsip-prinsip hukum, melakukan kerja dengan transparan dan mereka tidak bisa dikategorikan sebagai diktator. Kekuasaan elit tersebut datang dari beberapa sumber. Pertama adalah pos-pos pejabat penting dalam masyarakat. Posisi-posisi ini memberikan mereka pengaruh tidak saja dalam pemerintahan tetapi juga bidang politik, keuangan, pendidikan, sosial dan institusi lainnya. Mereka kemudian melakukan kolaborasi dengan organisasi-organisasi industri dan militer. Kedua Mills menyebut kepentingan bersama yaitu memandang pemerintah sebagai entitas yang seharusnya menjamin iklim yang kondusif bagi bisnis. Mereka menyepakati sistem pasar bebas, kepemilikan swasta, distribusi kekayaan yang tidak merata termasuk konsentrasi kekuasaan. Kerja-kerja sosial dari negara adalah tugas kedua. Mereka terkonsolidasikan lewat kultur-kultur elit seperti menyekolahkan anaknya ke sekolah elit, pergi ke klub yang sama, membaca media yang sama, dan sebagainya.
Dengan demikian, bila Amerika Serikat digambarkan melalui piramida, maka level atas terdiri dari white house, the state departement, dan the pentagon serta sebagian senator ikut dilibatkan. Mereka hanya sebagai legitimasi belaka dibandingkan dengan pembuatan keputusan. Sedangkan di level dua oelh Mills ditempatkan di lingkaran luar elit, mereka mengikuti pemilihan umum, menempati jabatan-jabatan publik tetapi tidak membuat keputusan yang signifikan. Kepentingan yang mereka bawa hanyalah populisme personal yang di blow up media, namun tidak kontributif terhadap isu-isu penting. Publik di Amerika juga tidak memegang peranan-peranan signifikan. Hal ini terlihat dari partisipasi mereka dalam pemilihan umum yang semakin lama semakin kecil.
Teori elit Mills ini menyimpulkan kenapa terjadi public silence : pertama adalah dibuatnya agenda-agenda penting seperti kebijakan ekonomi dan keamanan nasional oleh kekuasaan para elit. Yang kedua adalah level tengah yang memegang peranan sedikit dan publik sama sekali dikunci. Termasuk demokrasi prosedural yang dijadikan legitimasi bagi pemerintahan adalah salah satu bentuk nyata manifestasi yang menjadi monopoli kelas elite dimana kelompok-kelompok politik penguasa berkonspirasi degnan kelompok kapitalis merumuskan arah pembangunan. Pemilu dan mekanisme demokrasi hanyalah ritual monopoli kaum elit.
Perspektif berikutnya berasal dari kaum neo marxis yang membagi masyarakat kapitalistik ke dalam tiga strata, yaitu the big borjuis, petty borjuism (kelas menengah dan kelas pekerja. The big borjuis adalah kapitalist rulling class yang memiliki faktor produksi (modal), sedangkan kelas pekerja adalah kelas yang dieksploitasi dalam sistem produksi kapitalisme. Di tengah-tengah antaranya terdapat kelas petty borjuis yang terdiri dari empat keompok, yaitu pertama adalah kelompok profesional, dokter dan sebagainya. Kedua adalah pemilik perusahaan kecil dan menengah, kemudian kelas menengah lama, yaitu petani-petani kecil dan pengrajin, dan white collars, seperti manajer.

Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Vertical Fiscal Imbalance dan Horizontal Fiscal Imbalance

Tulisan ini hendak menjelaskan instrumen desentralisasi fiskal yang bisa mengurangi vertical fiscal imbalance dan horizontal fiscal imbalance. Kumorotomo (2008) membagi instrumen desentralisasi fiskal secara umum menjadi 3 bagian besar yaitu pertama, revenue sharing dimana pusat memberikan sebagian penerimaan pemerintah (biasanya dalam bentuk hasil ekstraksi sumber daya alam, konsesi, dll) kepada daerah. Dalam konteks Indonesia, revenue sharing ini diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa Dana Bagi Hasil non-pajak (DBH non-pajak). Kedua, Fiscal sharing yaitu pusat membagi kewenangan memungut pajak dan belanja publik kepada daerah.  Dalam konteks Indonesia, fiscal sharing ini diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa Dana Bagi Hasil pajak (DBH pajak). Ketiga, pemberian subsidi (grants) kepada pemerintah daerah. Dalam konteks Indonesia, subsidi/grants ini diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Otonomi Khusus (Otsus). Instrumen desentralisasi fiskal mana saja yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal pusat daerah (vertikal fiscal imbalance) dan instrumen desentralisasi fiskal yang mana saja yang mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah (horizontal fiskal imbalances) akan dibahas lebih lanjut pada paper ini.
Bahl (1998) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal merupakan penyerahan kewenangan di bidang keuangan antar tingkat pemerintahan yang mencakup bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan sejumlah besar dana dan/atau sumber-sumber ekonomi kepada daerah untuk dikelola menurut kepentingan dan kebutuhan daerah itu sendiri. Bagi daerah, desentralisasi fiskal berfungsi untuk menentukan jumlah uang yang akan digunakan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kepastian mengenai jumlah alokasi dan mekanisme penyaluran akan menjadi bahan pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah untuk merencanakan jenis dan tingkat pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat. Pada intinya, desentralisasi fiskal berupaya memberikan jaminan kepastian bagi pemerintah daerah bahwa ada penyerahan kewenangan dan sumber-sumber pendapatan yang memadai untuk memberikan pelayanan publik dengan standar yang telah ditentukan. Di Indonesia, desentralisasi fiskal ini diatur dengan UU No 33 Tahun 2004 mengenai perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang merupakan satu paket dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam perjalanannya, Pemerintah Indonesia terus mereformulasi dana perimbangan. Sehingga sampai saat ini instrumen desentralisasi fiskal di Indonesia yang dilakukan dengan transfer dana ke daerah melalui :
1.      DAU, dengan  prinsip alokasi murni DAU kepada daerah berdasar celah fiskal.
2.      DAK,  dengan penyerahan urusan pusat yang dikelola Kementerian / Lembaga ke daerah dimana pada tahun 2008 ada  11 Bidang, kemudian tahun 2010 ada 13 bidang dan tahun 2011 menjadi 19 bidang.
3.      DBH, non pajak (SDA) dan Pajak. DBH non pajak (SDA) di Papua/NAD lebih banyak dibanding daerah lain karena UU Otonomi Khusus. Sedangkan Kapasitas fiskal melalui DBH pajak diatur dengan UU  28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB yang tadinya dikelola pusat diserahkan ke Kabupaten/Kota.
4.      Dalam APBN 2010 terdapat formula baru dana insentif bagi daerah berkinerja baik dengan Award (competitive budget) yaitu daerah dengan kinerja keuangan, ekonomi dan kesejahteraan yang dalam tiga tahun sebelumnya.
Dengan adanya reformulasi tersebut, maka ketimpangan fiskal (fiscal imbalance) dapat dikurangi. Ketimpangan fiskal terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesenjangan fiskal pusat dan Daerah  (Vertical Fiscal Imbalance) dan  kesenjangan fiskal antar daerah (Horizontal Fiscal Imbalance).  Menjawab persoalan dalam paper ini, instrumen desentralisasi fiskal yang bisa mengurangi vertical fiscal imbalance adalah semua instrumen desentralisasi fiscal, yaitu instrumen revenue sharing, fiscal sharing dan subsidi, yang dalam konteks Indonesia saat ini adalah Dana Bagi Hasil (DBH), baik pajak maupun non pajak (SDA) dan juga DAU, DAK serta Dana Otsus.
Baik Dana Bagi Hasil (DBH), baik pajak maupun non pajak (SDA), DAU, DAK, Dana Otsus maupun dana insentif bagi daerah berkinerja baik merupakan transfer keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga dengan demikian otomatis kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah dapat lebih kecil dengan semua instrumen ini, karena semua dana masuk ke daerah dan mengurangi alokasi di pusat. Dengan kata lain, vertical fiscal imbalance dapat dikurangi. Pola desentralisasi fiskal yang hingga sekarang diterapkan di Indonesia masih terfokus pada otonomi pembiayaan, bukan pada otonomi pendapatan. Sekalipun daerah memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan sendiri tetapi ada pengecualian terhadap ekplorasi SDA. Eksplorasi SDA lebih merupakan kewenangan pusat. Begitu pula pajak, pajak juga masih merupakan kewenangan pusat, tetapi dengan adanya UU  28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB yang tadinya dikelola pusat diserahkan ke Kabupaten/Kota. Begitu pula beberapa jenis pajak lain yang diserahkan kepada daerah melalui fiscal sharing. Sehingga pola transfer keuangan dari pusat ke daerah, baik melalui revenue sharing atau cost sharing dengan DBH maupun subsidi dengan DAU, DAK dan dana otsusnya masih menjadi elemen penting untuk menunjang kapasitas keuangan daerah, sehingga mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance).
Sedangkan instrumen desentralisasi fiskal yang bisa mengurangi horizontal fiscal imbalance adalah instrumen subsidi (grants) khususnya dalam konteks Indonesia adalah melalui Dana Alokasi Umum (DAU). DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, atau dengan kata lain mengurangi horizontal fiscal imbalance. Implikasinya, subsidi yang dialokasikan kepada setiap daerah dalam rangka menjalankan kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat berbeda-beda. DAU ditransfer pemerintah pusat kepada daerah bersifat “block grant”, yang berarti daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan antardaerah.
Disparitas antar daerah (horizontal fiscal imbalance) di Indonesia masih sangat besar. Disparitas antardaerah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketidakmerataan dalam hal penguasaan sumber daya alam atau sumber penerimaan antara daerah satu dan daerah lainnya, selain juga perkembangan industri setempat.
Landasan hukum pelaksanaan DAU adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah. Sebagai amanat UU No.33 Tahun 2004, alokasi yang dibagikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat minimal 26 persen dari total penerimaan dalam negeri netto. Dengan ketentuan tersebut maka, bergantung pada kondisi APBN dan Fiscal Sustainability Pemerintah Indonesia, alokasi DAU dapat lebih besar dari 26 persen dari total pendapatan dalam negeri netto.
DAU diberikan berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan daerah yang dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan undang-undang sedangkan perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil yang diterima daerah. Sementara Alokasi Dasar dihitung berdasarkan gaji PNS daerah.
Kebutuhan Fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam perhitungan DAU, kebutuhan daerah tersebut dicerminkan dari variabel-variabel kebutuhan fiskal sebagai berikut :
a.Jumlah Penduduk
b.Luas Wilayah
c.Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
d.Indeks Kemiskinan Relatif (IKR)
Kapasitas fiskal daerah merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Potensi penerimaan daerah merupakan penjumlahan dari potensi PAD dengan DBH Pajak dan SDA yang diterima oleh daerah.
Berdasarkan UU diatas, setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar dari kebutuhan fiskal maka dapat menerima penurunan DAU, dan atau tidak menerima sama sekali pada tahun berikutnya. Hal inilah yang digunakan untuk mengurangi horizontal fiscal imbalance. Daerah “kaya” seperti DKI Jakarta, Riau dan Kaltim diberikan DAU yang lebih kecil dibandingkan daerah lainnya dan bahkan ada wacana untuk penghapusan DAU di daerah-daerah “kaya” tersebut.
Dalam mengurangi horizontal fiscal imbalance ini, DAU bukan merupakan satu-satunya instrumen yang bisa digunakan. Mekanisme subsidi antar daerah seperti yang terjadi di Bali bisa menjadi contoh yang baik. Fiscal sharing berupa kewenangan pajak yang diberikan ke daerah, berupa pajak hotel, restoran dan hiburan yang merupakan fiscal sharing dari pusat kepada daerah, kemudian digunakan lebih lanjut dalam subsidi antar daerah, karena daerah yang diberikan subsidi merupakan daerah yang terdampak secara tidak langsung akibat aktivitas yang terjadi di daerah yang memberikan subsidi. Konkritnya, Kabupaten Badung, Bali, yang memiliki pajak hotel, restoran dan hiburan yang sekitar 1 trilliun rupiah per tahun harus memberikan subsidi beberapa persen kepada kabupaten di sekitarnya dalam bentuk subsidi dana infrastruktur untuk jalan dan irigasi. Hal ini juga bisa dipakai untuk mengurangi horizontal fiscal imbalance, meskipun hanya dalam skala lokal Provinsi Bali.