Peta Kajian Analisis Politik Indonesia

Politik Indonesia telah dikaji oleh banyak ilmuwan politik. Tercatat nama-nama seperti Ben Anderson, Donald Emerson, Dwight King, Harry J. Benda, Robinson, Herbert Feith, Lance Castle, William Liddle, Karl Jackson, Harold Crouch, John T.Sidel, Midgal, Jusuf Wanandi, Vedi R. Hadiz, Gerry Van Klinnen, Olle Tornquist, Affan Gaffar, Mochtar Mas’oed dan ilmuwan-ilmuwan politik lainnya, baik peneliti lokal maupun asing. Dalam tugas analisis tren kajian politik indonesia ini saya mencoba mengkategorisasi kajian politik indonesia menjadi dua kategori besar, yaitu kajian politik indonesia klasik yang merupakan kajian mengenai politik indonesia sebelum masa reformasi, dan kajian politik indonesia kontemporer yang merupakan kajian mengenai politik indonesia pada masa setelah reformasi. Kategorisasi ini saya dasarkan pada pergeseran lokus para ilmuwan politik dalam mengkaji politik indonesia, dari lokus Negara Indonesia pada era sebelum reformasi (dalam bahasa saya, saya beri label klasik) ke lokus yang lebih sempit, yaitu daerah-daerah yang ada di Indonesia pada masa kontemporer. 

Kajian politik Indonesia klasik memiliki lokus Negara Indonesia secara keseluruhan. Dalam melihat kajian politik Indonesia klasik, saya meminjam pemetaan politik indonesia yang dilakukan oleh Andrew MacIntrye. McIntrye menggambarkan bahwa studi politik di Indonesia bergerak dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem yang lain dimana semakin ke kiri semakin ke kiri semakin terbatasnya pluralisme dalam negara dan semakin otonomnya negara (berfokus ke negara / state centric), sedangkan semakin ke kanan semakin plural masyarakatnya dan terbatas peran negara (berfokus pada masyarakat / society centric). Peta tersebut digambarkan sebagai berikut :
Semakin otonom                                                                                 semakin plural
State centric                                                                                        society centric
State qua state
Pluralism birokrasi
Pluralisme terbatas
Otoriter birokratik
struktural
Politik birokrasi
 


State qua state merupakan studi yang berfokus pada negara (state centric). Konsep ini disampaikan oleh Ben Anderson dengan menggunakan analisa sejarah (historis), dan memberikan tekanan yang kuat pada Negara (state). Ben Anderson menyebutnya sebagai Old State New Society. Dalam menjelaskan hubungan antara negara-society pada masa orde baru, Ben Anderson berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan Rezim Orde Baru hanya dapat dimengerti secara baik dari kepentingan negara sendiri. Dia memberikan gambaran bahwa negara Indonesia modern sebagai kesatuan yang mengurus dirinya sendiri, yang mengejar pemenuhan kepentingannya sendiri dengan resiko berbenturan dengan kepentingan yang timbul dalam masyarakat.

Kedua, politik birokrasi. Konsep ini diusung oleh John Girling, Ruth Mc Vey dan Jamie Mackie. Dalam konsep ini diungkapkan bahwa dalam politik Indonesia modern, negara merupakan arena politik yang eksklusif dimana partisipasi pembentukan kebijakan dilakukan secara terbatas terutama oleh lingkup kecil dalam birokrasi pemerintahan, baik sipil maupun militer. Dalam pemerintahan birokratis sangat menolak partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Elite birokrasi sama sekali tidak terhambat oleh kepentingan-kepentingan masyarakat dalam menentukkan kebijakan. Artinya, negara tidak tanggap terhadap kepentingan atau tekanan dari masyarakat. Karakteristik dalam pemerintahan birokratik adalah terbangunnya hubungan yang bersifat patrimonislime-paternalistik- dimana hubungan politik diantara elite birokrasi pemerintahan ditandai dengan persaingan (rivalitas) antar klik yang diselenggarakan bersama oleh suatu jaringan yang terbentuk oleh hubungan patron-klien.

Ketiga, pluralisme birokrasi. Pluralisme birokrasi sebagai karakter birokrasi di Indonesia dirumuskan oleh Donald Emmerson. Emmerson melihat bahwa pembuatan kebijakan di Indonesia melibatkan banyak aktor dan yang lebih penting adalah banyak perdebatan di internal birokrasi. Emmerson membuat kesimpulan bahwa birokrasi di Indonesia sebenarnya lebih pluralis seperti yang dibayangkan oleh Ben Anderson. Pluralisme birokrasi menggambarkan bahwa pembuatan kebijakan mendapatkan input yang cukup besar dari extra state dan secara signifikan direspon. Dengan demikian, kebijakan adalah representasi dari banyak kepentingan. Namun dalam prakteknya Emmerson tetap melihat bahwa negara tidak merespon tuntutan masyarakat meskipun ada keterlibatan extra state dalam pembuatan kebijakan. Hasilnya kebijakan tetap tidak representatif bagi masyarakat.

Keempat, otoritarian birokratik. Otoritarian birokratik merupakan konsep yang diperkenalkan Dwight King dalam melihat Indonesia. Dalam Otoritarian birokratik, king mengungkapkan strategi korporatisme untuk memanaj representasi kepentingan. Korporatis merupakan pola untuk menghubungkan negara dengan masyarakat. Korporatisme melihat sekelompok orang yang mengorganisasi negara secara independen dan menggunakannya sebagai alat bagi kepentingan mereka. Munculnya OB ini oleh Harry J. Benda merupakan watak dari kepemimpinan jawa. Sedangkan Herbert Feith tidak setuju dengan alasan historis tersebut. Menurutnya OB merupakan pilihan rejim, terbebas dari latar belakang historis dan kultural di belakangnya.

Kelima, pendekatan struktural yang diusung oleh Robinson. Robinson menganalisis faktor penting dalam struktur politik indonesia, yaitu kebijakan publik dimonopoli oleh negara menyebabkan gagalnya kemunculan borjuis nasional, jaringan patrimonial dan peran penting modal asing sebagai kekuatan ekstra state. Kemudian Robinson mulai mengidentifikasi munculnya borjuis domestik yang sebelumnya sangat bergantung pada kapitalis birokrat. Robinson juga menganalisis bagaimana orde baru menyusun kekuatan struktur korporatis untuk mengontrol sumber modal dan tenaga kerja. Robinson melihat bahwa korporasi bisnis menjadi aktor penting dalam pembuatan keputusan.

Keenam, pluralisme terbatas. Fokus dari pluralisme terbatas ini adalah society centric, yaitu melihat negara indonesia berdasarkan peran masyarakat (society) dalam penentuan kebijakan negara. Pluralisme terbatas diusung oleh William Liddle yang melihat bahwa politik indonesia lebih plural dan dalam pembuatan setiap keputusan melibatkan banyak aktor, termasuk di dalamnya unsur masyarakat. Dalam pembuatan keputusan pemerintah di sektor pertanian, beberapa pihak seperti intelektual, media, anggota parlemen, produsen, konsumen, setiap kepentingannya diakomodasi meskipun dalam level berbeda. Liddle melihat adanya pluralisme terbatas dimana dalam pembuatan keputusan, ada unsur unsur extra state yang memberikan kontribusi.

Masih dalam kajian politik Indonesia klasik, ada kajian politik aliran. Politik aliran ini ada yang menggunakan berfokus ke society dan ada pula yang berfokus ke negara. Adapun lokusnya masih dalam tataran negara meskipun bisa dikatakan sebenarnya sudah ke ranah intermediary (aktor antara negara dan masyarakat seperti parpol). Politik aliran pertama ada dalam studi tentang abangan, santri dan priyayi dalam masyarakat jawa. Studi Clifford Geertz ini melihat bekerjanya  Tradisional Religio Political System dalam menentukkan pemilahan sosial dalam masyarakat jawa. Pemilihan sosial itu menyangkut perbedaan pandangan hidup, prefrensi etis, serta  ideologi politik orang jawa. Pemilihan dalam religio political system ini selanjutnya disebut aliran. Menurut Geertz, pemilahan sosial berbasis aliran itu meliputi: abangan, santri dan priyayi.

Pencetus politik aliran berikutnya adalah Herbert Feith dan Lance Castles. Mereka melihat ada perbedaan basis ideologis antara satu partai dengan partai lainnya. Feith melakukan pemetaan politik aliran dengan sumber dasar tradisi dan islam dan kemudian memunculkan lima aliran politik. Politik aliran ini kemudian dikembangkan dengan kajian pada masa orde bar dan pasca orde baru. Diantaranya adalah kajian Affan Gaffar tentang politik aliran pada masa-masa awal kekuasaaan orde baru. Kajian Daniel Dhakidae tentang konflik politik aliran dimana awalnya pada antar partai, lokus konflik berubah menjadi konflik politik aliran internal partai. Juga studi Kivlan zen yang melihat adanya politik aliran dalam tubuh militer sehingga menyebabkan perpecahan di tubuh militer. Studi Anders Uhlin dalam oposisi berserak juga menggunakan perspektif politik aliran ini untuk mengidentifikasi varian ideologi dalam konteks nasional pra reformasi 1998.

Berikutnya dalam kajian politik indonesia kontemporer, lokus kajian lebih mengarah ke daerah-daerah yang ada di Indonesia, meskipun ada beberapa peneliti yang masih menggunakan lokus negara, seperti kajian weak statenya Jusuf Wanandi. Pasca diterapkannya desentralisasi, politik lokal di daerah makin dinamis dan banyak pengkaji politik indonesia menggunakan lokus lokal dalam memotret kajian politik indonesia.

John T. Sidel dan Midgal melihat fenomena local strongmen yang ada di daerah-daerah di Indonesia pasca orde baru. Kajian Midgal menerangkan bahwa muncul fenomena bos-bos lokal yang terbentuk dari lemahnya kapasitas negara dan pluralisme masyarakat. Keduanya sama-sama menggunakan lokus di daerah (lokal). Begitu juga tentang dalam kajian syarif hidayat tentang fenomena shadow state di indonesia juga menggunakan lokus lokal. Kajian Vedi R. Hadiz dalam Localizing Power Indonesia juga menggunakan lokus lokal. Kajian Garry van Klinken yang melihat konflik di berbagai daerah di Indonesia dalam Perang Kota Kecil juga berlokus pada lokal.  

Dalam fokus kajiannya, saya tetap melihat ada yang menggunakan fokus negara (state centric), ada yang berfokus pada masyarakat (society centric) maupun diantaranya (aktor intermediary). Sebagai contoh kajian mengenai state capacity (weak state) oleh Jusuf Wanandi, berfokus ke negara, sedangkan dalam kajian John T. Sidel tentang bossisme, fokus yang diangkat mengarah ranah intermediary. Kajian Edward Aspinall menganai civil society di indonesia, memiliki fokus pada masyarakat (society centric).

No comments: