Penulis
: Eny Haryati
Jumlah
Halaman : 621 hal
Tahun
: 2003
Disertasi ini mendokumentasikan
implementasi program-program PMD di Indonesia, mulai dari latar belakang
kelahirannya, awal tumbuh dan berkembangnya sampai dengan kebijakan ini
kehilangan ‘roh”nya pada tahun 1997 seiring dengan berakhirnya masa
pemerintahan orde baru. Dalam disertasi ini dijelaskan bagaimana hubungan
tentang konfigurasi politik, kebijakan PMD dan tingkat penanggulangan
kemiskinan di Indonesia yang berada dalam rentang waktu tahun 1945-1997 yang
terbagi dalam tiga periode, yaitu periode demokrasi liberal (1945-1959),
periode demokrasi terpimpin (1959-1966) dan periode orde baru (1966-1997).
Asumsi awal pada saat memulai membangun
disertasi ini adalah bahwa konfigurasi politik mempengaruhi karakter kebijakan
PMD, dan itu berpengaruh pada efektifitas penanggulangan kemiskinan.
Konfigurasi politik yang sedang berlaku di suatu waktu berpengaruh terhadap
produk hukum yang sedang berlaku pada kurun waktu tersebut. Kebijakan PMD merupakan
kebijakan monumental pemerintah dalam pembangunan dan penanggulangan kemiskinan
dengan alokasi sumber daya yang relatif besar, diimplementasikan dalam jangka
waktu yang cukup lama dan didukung oleh perangkat kelembagaan yang besar serta
dilaksanakan secara massal di seluruh wilayah Indonesia. Namun kebijakan
pembangunan dan penanggulangan kemiskinan yang sudah ada antara kurun waktu
1945-1997 ini dirasa oleh peneliti belum juga dapat menyelesaikan persoalan
kemiskinan di Indonesia. Inilah pertanyaan utama sekaligus kegelisahan peneliti
dalam disertasi ini yang juga hendak dijabarkan dalam penjelasan berikutnya.
Masa demokrasi liberal merupakan masa
pasca kemerdekaan Indonesia dimana negara belum punya alat kelengkapan berupa
lembaga tinggi dan tertinggi negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Pada masa
ini terjadi pergantian sistem pemeritahan, baik dengan presidensial, pluralis
multipartai, sistem federasi, maupun parlementer. Karateristik politik pada
masa ini adalah dominannya peran partai, sedangkan eksekutif atau kabinet
sangat lemah, serta pers relatif bebas.
Pada masa demokrasi terpimpin sejak
dekrit presiden 5 juli 1959 dimana konstitusi kembali ke UUD 1945, Indonesia
menganut sistem Presidensiil. Terjadi tarik-menarik antara 3 kekuatan utama,
yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan PKI. Soekarno perlu PKI untuk mengimbangi
AD, PKI butuh soekarno untuk melindungi dari ancaman AD, AD butuh soekarno
untuk mendapat legitimasi bagi keterlibatannya dalam politik. Posisi sukarno
paling kuat, sehingga menjadi pemimpin yang otoriter. Demokrasi terpimpin tidak
ada sistem kepartaian. Legislatif lemah. Presiden mengatur spektrum politik
nasional menggunakan DPA yang dipimpin sendiri oleh soekarno. Kebebasan pers
buruk.
Orde baru diawali G 30S PKI, dimana
Angkatan Darat keluar sebagai pemenang yang ditandai dengan Supersemar. Masa
awal orba, Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi. Krisis politik
ditandai dengan banyaknya demonstrasi dan kebangkitan parpol. Krisis ekonomi
ditandai dengan sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari dan melonjaknya harga.
Inflasi pada masa orde lama hampir 600% dengan pertumbuhan ekonomi yang nyaris
stagnan.
Orde baru mencanangkan tertib politik
berdasar pancasila, program rehabilitasi dan konsolidasi ekonomi. Stabilitas
politik menjadi prasyarat pembangunan ekonomi. Sehingga terjadi pengekangan
hak-hak politik rakyat dan demokrasi. Dilakukan penyederhanaan partai dengan
Golkar sebagai partai hegemonik. Ciri khas Orba yaitu beamtenstaat,
bureaucratic polity, negara pasca kolonial, patrimonialisme jawa, negara
organis, bureaucratic authoritarian regime, korporatisme, dan integralistik.
Konfigurasi politik Orba cenderung otoriter, dimana eksistensi parpol dan
lembaga perwakilan lemah serta dibayangi kontrol dan penetrasi birokrasi.
Rekruitmen DPR tertutup, eksekutif kuat, partisipasi politik dan kekuatan di
luar birokrasi lemah Pers dapat dibredel pemerintah.
Pada masa liberal PMD dibagi dalam
beberapa tahap masa :
1. masa pasca merdeka dimana masyarakat miskin, pendidikan
rendah, infrastruktur minim, kesehatan buruk,politik tidak stabil, dan rakyat
mengalami kesulitan hidup. Program yang dilakukan adalah program perbaikan
kesehatan dan pendidikan masyarakat (dikmas) yang dikelola jawatan pendidikan
masyarakat kementerian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Pendidikan
dianggap sebagai entry point peningkatan kualitas masyarakat dan kesejahteraan.
Pendidikan membuka pelaksanaan community development.
2. Masa perkembangan isu pembangunan masyarakat
tingkat dunia. Keberhasilan marshall plan di eropa barat dan konfrensi
community development di manila dimana pembangunan berpusat pada manusia dan
melahirkan program CD yang berbeda beda di sejumlah negara
3.terbentuk embrio
PMD di Indonesia. terjadi pada kabinet Halim (21 jan -6 sept 1950) dengan
dibentuk kementerian pembangunan masyarakat pimpinan Soegondo Djojopoespito.
Tahun 1954 pemerintah mengundang tim CD dari PBB. Tahun 1956 pemerintah
melakukan studi banding ke negara-negara yang telah melakukan CD seperti
Birma,Ceylon, India, dan Pakistan. Pada
msa kabinet Ali Sastroamijoyo II pada 20 juni 1956 dibentuk panitia kerja
sementara PMD, dan memasukkan program PMD ke rencana pembangunan negara yg
berjangka lima tahun. Pada masa ini embrio PMD tumbuh.
4. kebijakan dan
kelembagaan PMD. Melalui PP No 2 Tahun 1957 ditetapkan kebijakan dan organisasi
penyelenggaraan PMD berikut programnya sampai akhir periode liberal. Ditetapkan
prinsip dasar PMD, organisasi penyelenggara DK PMD, panitia pembantu teknis PMD
propinsi, unit pelaksana PMD, dan biaya PMD berdasar UU no 85 Tahun 1958
tentang repelita 1956-1960. Nominal bantuan pemerintah sebesar 198 juta rupiah
selama 5 tahun.
5. Tahap implementasi
kebijakan PMD, dibagi tiga tahap yaitu 1945-1950 merupakan tahap kesadaran
perlu membangun, 1950-1956 tahap embrio PMD, 1956-1959 tahap implementasi PMD.
Program PMD yang dilakukan yaitu latihan-latihan baik bagi pejabat pemerintah,
para pemimpin desa, guru sekolah di desa, pelatihan kejuruan khusus, program
koordinasi, penyusunan program tingkat daerah kerja yang bottom up, dan
implementasi progtam di daerah kerja.
PMD pada masa demokrasi terpimpin dibagi
dalam beberapa tahap :
1. Keadaan ekonomi-politik pasca dekrit presiden, dimana
disusun rencana pembangunan semesta delapan tahun pada 1 januari 1961 dengan
target 3 tahun swasembada pangan, lima tahun lepas landas. Pada tahun 1963
dilakukan deklarasi ekonomi dimana bentuk ekonomi menjadi ekonomi sosialis,
dimana politik luar negeri harus kuat, sehingga anggaran negara digunakan untuk
memperkuat militer, sehingga anggaran membengkak dan inflasi tinggi.
2. Masa kebijakan dan kelembagaan PMD pada
tahun 1959-1962 melalui perpres 11 tahun 1960 dimana ekonomi menjadi leading
sektor, yang digerakkan berdasar swadaya masyarakat dan asas kekeluargaan. PMD
digerakkan secara massal dan integral. Pada tahun 1962-1964 dibentuk organisasi
hierarkis dimana pada kabinet kerja III Departemen Transmigrasi, Koperasi dan
Pembangunan Masyarakat Desa (Transkopemada) dirubah menjadi Departemen
Koperasi,dimana di dalamnya ada Biro PMD. Kemudian berubah lagi menjadi
Transkopemada, dengan Ditjen PMD sebagai bagian yang mengurusi PMD. Pada tahun
1964-1966 melalui Keppres 21 Tahun 1964 dibentuk Departemen PMD, di bawah
Kompartemen Pertanian dan Agraria. kelembagaan PMD dibentuk hierarkis dari
pusat sampai kecamatan.
3. Masa
implementasi PMD dimana kebijakan rencana pembangunan semesta berencana delapan
tahun dengan kiblat ekonomi kelembagaan PMD diatur dalam PP No 15 Tahun 1960
dimana PMD dibawa dalam struktur pemerintahan dengan prinsip integral dan
massal (lintas sektor) semua daerah. Program yang dilakukan antara lain
pelatihan-pelatihan, survey ke daerah potensial industri dan percontohan.
Pembinaan masyarakat desa, dan UU Pokok Agraria.
PMD pada masa orba dibagi dalam beberapa
tahap :
1. Masa
transisi 1966-1969 dimana terjadi defisit anggaran 174% pada tahun 1965. Negara
menanggung hutang luar negeri dan citra internasional buruk. PMD berada di
Departemen Pengairan Rakyat Dan Pembangunan Masyarakat Desa. Dilakukan
perubahan kelembagaan dimana PMD diatur secara terpusat.
2.
Pelita I 1969-1973 dimana negara mulai
membangun dengan repelitanya.
Disusun pedoman PMD yaitu Pola Dasar dan
Gerak Operasional Pembangunan Desa. Desa dianggap punya masalah yang harus
diselesaikan. Pada pelita I terjadi surplus, ekonomi makro baik, pertumbuhan
ekonomi 6 %. PMD mengambil sasaran strategis masyarakat pada unit pemerintahan
terendah se indonesia, sasaran aspek : mental spiritual/sosio kultural, fisik
materiil/ekonomi. Pokok kebijakan PMD yaitu swadaya masyarakat, semangat gotong
royong dan kekeluargaan, azas massal dan integral, satu pola nasional,
keseimbangan pembangunan sosial dan ekonomi. Organisasi PMD berada di
Departemen Dalam Negeri, Ditjen PMD, PMD
juga berjenjang sampai ke desa dan dikoordinir kepala pemerintahan. Dibentuk
juga Balai Litbang PMD, dan Pusdiklat PMD. Implementasi program PMD pada masa
ini adalah adanya Inpres Desa sebesar 100 ribu per desa. Dibentuk Lembaga
Sosial Desa dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga pada 9 september 1971.
Dibentuk arah perkembangan desa (desa swadaya, desa swakarya, desa swasembada),
unit daerah kerja pembangunan (UDKP) yaitu kecamatan yang berfungsi sebagai
metode, proyek penelitian, daerah percontohan dan training center, sebagai
penertiban sistem pelaksanaan pembangunan.
3.
Pelita II 1973-1978. Pembangunan
ditekankan pada ekonomi pertanian dan industri pertanian. UDKP digunakan
sebagai sistem pelaksanaan PMD. Program yang ada adalah UDKP, inpres desa
sebesar 200rb tahun pada 1974, dan 300 rb pada tahun 1975.
4.
Pelita III 1978-1983. Ditandai
ekonomi-politik yang kondusif, booming minyak, bantuan luar negeri. Dikeluarkan
UU 5 tahun 1979 tentang pemerintahan
desa. dimana kebijakan top down, PMD
sentralistis, dan uniform. Gotong royong digunakan sebagai kekuatan
pembangunan, perubahan LSD jadi lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD)
sebagai leader pembangunan desa, dilakukan pengembangan kegiatan PKK, teknologi
pedesaan, dan Inpres desa. Tiap desa ada bantuan langsung tiap desa bantuan
penunjang kegiatan PKK, bantuan keserasian dan bantuan khusus, bantuan pemenang
perlombaan desa, bantuan pembinaan administrasi pelaksanaan bantuan pembangunan
desa tingkat kecamatan.
5.
Pelita IV1983-1988. Negara mengalami
krisis sumber dana. PMD mengalami perubahan kelembagaan menjadi Direktorat
Pembinaan Ketahanan Masyarakat Desa, Direktorat Pendayagunaan Sumber Daya
Pembangunan Desa, Direktorat PKK, Balai pengkaderan pembangunan desa malang dan
jogja. Kebijakan umumnya mengingkatkan kualitas hidup masyarakat. Dibentuk forum
koordinasi pembangunan yaitu Bappeda dari tingkat propinsi sampai kabupaten.
Dilakukan program masuk desa seperti TNI ABRI masuk desa, listrik masuk desa,
koran masuk desa, dan usaha ekonomi desa (UED).
6.
Pelita V 1988-1993 dimana dilakukan
evaluasi pemerintah terhadap PMD dimana PMD meningkatkan kualitas hidup
masyarakat. Tetapi evaluasi PMD oleh publik dan populernya isu kemiskinan
ditemukan masih terdapat ketimpangan. Kemiskinan turun dari 60% tahun 1970
menjadi 15% pada tahun 1990. Dilakukan program pengembangan kawasan terpadu
yaitu program inpres, program pengembangan wilayah.
7.
Pelita VI 1993-1997 terjadi perubahan
kebijakan dimana kelembangaan PMD kuat dan tak terpisah dari hirarki birokrasi
pemerintah. Terdapat pembagian desa berdasar karakteristik (desa cepat
berkembang, potensial berkembang, masalah khusus), dibentuk visi misi strategi
PMD, dirumuskan prinsip dasar PMD yaitu integral, keseimbangan, prioritas,
keberlanjutan, keswadayaan. Serta dilakukannya program IDT
8. Program
PMD pada jaman orde baru antara lain : a. program pembinaan pengembangan desa
meliputi data dasar profil desa, program pengembangan kecamatan, sistem UDKP,
IDT, penataaan ruang kawawan pedesaan, pengembangan kawasan khusus, perlombaan
desa/kelurahan, b. program pembinaan ketahanan masyarakat desa, meliputi
penguatan kelembagaan masyarakat desa, P3MD, pemberantasan sarang nyamuk demam
berdarah dengue, perpustakaan desa, bimbingan dan motivasi masyarakat,
pengembangan media informasi dalam pembangunan desa, pembinaan kesejahteraan keluarga,
usaha peningkatan pendapatan keluarga, pendataan identifikasi kebutuhan dasar
keluarga, program makanan tambahan anak sekolah, gerakan nasional orang tua
asuh, peningkatan peranan wanita dalam pembangunan pedesaan, perencanaan
pembangunan masyarakat desa berwawasan jender, c. program pembinaan usaha
ekonomi desa meliputi inpres bantuan pembangunan desa, usaha ekonomi desa
simpan pinjam, lumbung pangan masyarakat desa, badan kredit desa, peningkatan
produktivitas wirausaha masyarakat desa, pengembangan pasar desa,
penanggulangan pekerja anak di desa tertinggal, padat karya, pembinaan tenaga
kerja, pekerja wanita, menumbuhkembangkan kelompok usaha ekonomi masyarakat
melalui kemitraan di daerah, e. program pembinaan sumber daya alam dan
pemukiman desa meliputi pembinaan peransera masyarakat pedesan dalam
pelastarian lingkungan, identifikasi dan inventarisasi sumber daya alam
pedesaan\, pembinaan sumber daya desa, pengembangan hutan cadangan pangan,
pemugaran perumahan dan lingkungan desa secara terpadu, penyediaan air bersih
dan penyehatan lingkungan pemukiman, pengembangan sarana dan prasarana desa,
manunggal TNI ABRI masuk desa, listrik pedesaan, pengembangan lahan gambut,
kawasan hutan lindung/konservasi taman nasional, pembinaan kesejahteraan
masyarakat terasing, pembinaan masyarakat desa hutan, pembianan pemukiman
masyarakat desa di kawasan pernbatasan dengan tetangga negara, pemukiman
kembali penduduk, pemasyarakatan dan pemanfaatan teknologi tepat guna di
pedesaan, kredit penerapan teknologi tepat guna dalam rangka pengentasan
kemiskinan.
Sementara hubungan antara konfigurasi
politik, kebijakan penanggulangan kemiskinan dan efektifitasnya yaitu : 1. pada
masa demokrasi liberal (1945-1959) di Indonesia berlaku konfigurasi politik
demokratis. Pada masa itu lahir kebijakan PMD berkarakter responsif. Akan
tetapi penanggulangan kemiskinan ditandai oleh tidak terjadinya penurunan
jumlah penduduk miskin. Diduga, jumlah penduduk miskin justru mengalami
peningkatan. Sebagian besar waktu pada masa demokrasi liberal belum ada
kebijakan PMD, yang ada baru program yang disebut “perbaikan kesehatan
masyarakat” dan “pendidikan masyarakat” (dikmas) sebagai upaya memajukan
masyarakat dari keterbelakangan ketika itu. Niat untuk melakukan pembangunan
masyarakat mulai ada tahun 1954, selanjutnya embrio PMD baru ada tahun 1956,
disusul dengan bagian-bagian awal kelahiran kebijakan ini. Apabila kemudian
tahun 1959 demokrasi liberal berakhir, berarti kebijakan PMD pada masa
Demokrasi liberal masih berjalan selama 3 tahun, itupun masih pada tahap embrio
dan persiapan-persiapan. Adapun terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin
diduga karena pembangunan ekonomi makro sedang mengalami stagnan, karena
pemerintah tidak berhasil melaksanakan pembangunan ekonomi, sementara kebijakan
ekonomi mikro belum memberikan hasil yang berarti, di sisi lain, faktor ekonomi
politik akibat pengambil alihan hak milik ranah bekas kolonial yang selama ini
dikerjakan rakyat membuat rakyat kehilangan faktor porduksi.
2. Pada masa demokrasi terpimpin
(1959-1966) di Indonesia berlaku konfigurasi politik otoriter. Pada masa itu
lahir kebijakan PMD yang berkarakter ortodoks. Penanggulangan kemiskinan tidak
efektif, ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin, makin manifesnya
problema kesenjangan serta rentannya penduduk terhadap kemiskinan atau tidak
dimilikinya ketahanan oleh sebagian besar penduduk terhadap kemiskinan.
Bersamaan dengan itu, kinerja pembangunan ekonomi sedang mengalami titik
kritis, ditambah dengan instabilitas politik yang akhirnya menghantar
pemerintah untuk menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada orde baru. Dengan kata
lain bahwa konfigurasi politik otoriter menghasilkan kebijakan PMD yang
berkarakter ortodoks dan karenanya berpengaruh negatif terhadap efektivitas
penanggulangan kemiskinan. PMD tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu
kebijakan mikro, karena implementasi kebijakan ini berada dalam kerangka
kebijakan pembangunan skala makro, dengan demikian dapat dipahami apabila
keberhasilan atau kegagalan pembangunan dalam skala makro mempunyai kontribusi
signifikan, karenanya tidak boleh diabaikan dalam konteks penanggulangan
kemiskinan.
3. Pada masa pemerintahan orde baru
(1966-1997) di indonesia berlaku konfigurasi politik otoriter. Karena
konfigurasi politik otoriter pada masa itu didukung oleh konstitusi yang
demokratis, maka disebut konfigurasi politik “otoriter konstitusional” atau
disebut juga konfigurasi politik “otoriter terselubung”. Pada masa ini lahir
kebijakan PMD yang berkarakter ganda (responsif dan ortodoks) dalam wujud : 1)
pada masa awal orde baru kebijakan PMD cenderung berkarakter responsif,
selanjutnya pada masa pertengahan sampai akhir pemerintahan orde baru karakter
kebijakan cenderung ortodoks, 2) kebijakan memiliki orientasi ganda, antara
orientasi kepada kepentingan rakyat miskin dengna orientasi kepentingan
pemerintah dalam kapsitasnya sebagai penguasa. 3) program-program yang dipilih
berkarakter responsif pada tingkat formulasi program dan berkarakter ortodoks
pada tingkat implementasi program, ini berjalan melalui mekanisme penataan
kelembagaan yang sentralistis. Pada masa orde baru dari tahun ke tahun terjadi
penurunan jumlah penduduk miskin secara berarti. Jadi dari segi penurunan
jumlah penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan efektif, tetapi
pada saat yang sama tidak diikuti oleh terjadinya pemerataan. Justru sebaliknya
terjadi ketimpangan berupa ketimpangan pendapatan, ketimpangan kepemilikan atau
penguasaan terhadap aset produktif, ketimpangan desa-kota, dan ketimpangan
antar wilayah. Sementara ketahanan penduduk terutama penduduk yang berada pada
garis kemiskinan dan penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan
tidak tercipta. Hal inilah yang menyebabkan pada krisis ekonomi akhir rejim
orde baru penduduk miskin meningkat begitu tajam mendekati jumlah penduduk
miskin pada tahun 1976.
Dari penelitian dalam disertasi ini
terjawab bahwa hubungan antara konfigurasi politik, karakter kebijakan PMD dan
penanggulangan kemiskinan di Indonesia tidak seperti garis liniear, tetapi hal
penting yang menjadi catatan adalah bahwa dari perjalanan konfigurasi politik,
karakter kebijakan PMD dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam rangka
merumuskan sebuah model pembangunan masyarakat yang berpeluang efektif dalam
penanggulangan kemiskinan di masa mendatang. Model itu adalah : 1) konfigurasi
politik otoriter melahirkan karakter kebijakan PMD yang ortodoks, dan itu
berpengaruh negatif terhadap penanggulangan kemiskinan. 2) konfigurasi politik
demokratis menghasilkan konfigurasi politik berkarakter responsif, tetapi
karakter responsif saja tidak cukup menghantarkan pada penanggulangan
kemiskinan efektif. Efektivitas penanggulangan kemiskinan selain memerlukan
kebijakan yang berkarakter responsif, kebijakan juga harus dilaksanakan dalam
rentang waktu yang cukup dan diikuti oleh kinerja pembangunan dalam skala makro
yang baik. Tingkat efektivitas penanggulangan kemiskinan baru dapat diketahui
dalam jangka waktu yang lama (minimal lima tahun). Efektivitas penanggulangan
kemiskinan berbanding lurus dengan kinerja pembangunan dalam skala makro,
karena keberadaan kebijakan penanggulangan kemiskinan memang diantara kerangka
pembangunan skala makro.
Kegelisahan peneliti mengenai program
PMD yang telah lama diimplementasikan tetapi jumlah penduduk miskin masih
tinggi adalah karena di sepanjang ketiga zaman tersebut penanggulangan
kemiskinan tidak pernah efektif. Pada masa orde baru penanggulangan kemiskinan
memang efektif, tetapi hanya pada penurunan jumlah penduduk miskin, dan tidak
terciptanya pemerataan dan ketahanan penduduk terhadap bahaya kemiskinan.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan
berpeluang mencapai tingkat efektivitas tinggi bila mencapai empat pilar, yaitu
1) konfigurasi politik demokratis, 2) karakter kebijakan PMD yang responsif, 3)
kinerja pembangunan skala makro yang baik, 4) dilaksanakan dalam rentang waktu
yang cukup lama dan secara terus menerus. Konfigurasi politik demokratis
merupakan pilar penting dalam penyelenggaraan pembangunan yang diarahkan untuk
menanggulangi masalah kemiskinan, karena dari konfigurasi politik yang
demokratis akan lahir kebijakan yang berkarakter responsif. Berperannya secara
proporsional lembaga perwakilan rakyat, dihidupkannya kebebasan pers, serta
tidak terlalu dominannya peranan eksekutif merupakan pilar awal yang memegang
peranan penting.
Karakter
kebijakan yang responsif berpeluang besar mencapai tingkat efektvitas tinggi
dalam penanggulangan kemiskinan. Kebijakan demikian bersandar pada paradigma
pembangunan wacana akademik dan berorientasi pada kepentingan masyarakat
miskin, mewujud dalam program-program pembangunan yang dapat memberi peluang
pada lahirnya partisipasi masyarakat, dan menciptakan kemandirian masyarakat
untuk menolong dirinya sendiri, serta kebijakan demikian didukung oleh penataan
kelembagaan yang berbasis lokal, yang mampu membangun keseimbangan antara model
bottom up dan top down dalam perencanaan pembangunan.
Kinerja pembangunan dalam skala makro
merupakan hal penting yang tidak boleh diabaikan dalam rangka mencapai
efektivitas PMD. Kebijakan ini akan efektif dalam menanggulangi kemiskinan
hanya apabila didukung oleh keberhasilan pembangunan dalam skala makro,
meskipun hal ini bukanlah satu-satunya variabel yang menentukan. Waktu memegang
peranan penting. Artinya kebijakan PMD akan benar-benar dapat mempunyai
kontribusi positif terhadap penanggulangan kemiskinan apabila dilaksanakan
dalam rentang waktu yang relatif lama bahkan terus menerus. Dengan begitu akan
tercipta suatu kebijakan dan kelembagaan yang kuat. Kekuatan benar-benar terletak
pada kebijakannya, bukan pada perumus dan pelaksana kebijakan ataupun pada
pemerintahnya. Dengan begitu pergantian rejim pemerintahan tidak akan
mengguncang kebijakan ini dengan segala kelembanggannya yang kokoh.
1 comment:
terimah kasih banyak sangat bermanfaat.
Post a Comment