Judul buku :
Analisis Hubungan Pusat - Daerah
Pengarang : Drs. Josef Riwu Kaho, MPA
Tahun terbit : 2011
Buku
Analisis Hubungan Pusat dan Daerah ini merupakan buku yang membahas secara
komperhensif dinamika hubungan pusat dan daerah dari masa ke masa dalam
lintasan sejarah bangsa dari mulai masa pemerintahan kolonial sampai pengaturan
terbaru dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara umum,
hubungan antara pusat dan daerah mencakup tiga aspek, yaitu hubungan
kewenangan, hubungan keuangan dan hubungan pengawasan. Buku ini mengupas secara
mendalam hubungan yang terjadi dan juga dinamika hubungan tersebut dari masa ke
masa, pengaturan ke pengaturan. Sistematika buku ini dibagi menjadi 5 Bab,
yaitu pertama : Pendahuluan yang berisi sejarah hubungan pusat dan daerah
menurut bentuk negara, hubungan pusat dan daerah di indonesia, konsep-konsep,
prinsip maupun asas-asasnya. Kedua : hubungan kewenangan antara pusat dan
daerah. Ketiga : hubungan keuangan antara pusat dan daerah dan keempat :
hubungan pengawasan antara pusat dan daerah. Kelima yaitu penutup.
Hubungan antara pusat
dan daerah akan selalu ada dalam suatu negara apapun bentuk negaranya, baik
federal maupun kesatuan. Dikotomi antara negara federal dan kesatuan ini makin
kabur ketika hubungan pusat dan daerah dalam negara federal maupun negara
kesatuan hampir-hampir mirip. Dalam sejarahnya, dahulu bangsa kita juga pernah
memiliki pengalaman menerapkan federasi, yaitu pada jaman kerajaan dahulu.
Namun dengan disepakatinya UUD 1945 sebagai konstitusi, Indonesia secara
otomatis menganut bentuk negara kesatuan dan dengan desentralisasi sebagai asas
penyelenggaraan negaranya. Dan desentralisasi merupakan pilihan para founding fathers kita dalam
penyelenggaraan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 berikut
penjelasannya. Dalam penjabaran alasan mengenai dianutnya desentralisasi,
penulis banyak mengutip pendapat para ahli, kemudian penulis sendiri
menempatkan pendapatnya dengan mengikuti pendapat mariun yang lebih sederana
namun sudah mencakup pengertian yang telah dijelaskan oleh para ahli yang lain,
bahwa desentralisasi dianut demi tercapainya efektivitas pemerintahan dan demi
terlaksananya demokrasi dari/di bawah (grassroots
democracy).
Desentralisasi
bukan merupakan sistem yang terbaik. Sistem ini juga memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi, muncullah
daerah daerah otonom, yaitu daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Yang diatur dan diurus adalah tugas-tugas atau urusan-urusan
tertentu yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Teknik yang dapat
digunakan untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan
mana urusan daerah ada beberapa , yaitu : (1) sistem residu dimana ditentukan dulu wewenang pusat, sisanya
menjadi wewenang daerah, (2) sistem material dimana tugas pemerintah daerah
ditetapkan satu per satu secara limitatif dan terinci, (3) sistem formal dimana
urusan daerah tidak ditetapkan dengan undang-undang melainkan daeah boleh
mengatur urusan yang dirasa penting bagi daerahnya selama tidak berbenturan
dengan kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah di atasnya, (4) sistem
otonomi riil dimana penyerahan urusan kepada daerah sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan riil dari daerah dan (5) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan
bertanggungjawab yang merupakan variasi dari otonomi riil yang tercantum dalam
UU No 5 Tahun 1974. Urusan otonomi daerah ini tidak statis, tetapi dinamis :
berkembang dan berubah. Hal ini karena terjadinya perubahan di masyarakat,
sehingga urusan daerah dapat ditambah atau ditarik menurut situasi dan
perspektif yang dipakai. Isi dalam bab ini sebagian besar sama dengan buku yang
ditulis oleh penulis sebelumnya yaitu Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang ditulis pertama kali sejak tahun 1988.
Pada
bab kedua diterangkan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kewenangan merupakan salah satu bentuk kekuasaan. Namun kewenangan memiliki
dimensi keabsahan (legitimate). Dalam kekuasaan, kewenangan dirumuskan dalam
bentuk urusan, yaitu segala aktivitas yang dapat dilaksanakan sebagai hasil
dari kewenangan yang ada. Dalam buku ini dijelaskan secara gamblang hubungan
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sejak zaman VOC, Hindia Belanda,
pendudukan Jepang, pada masa kemerdekaan hingga pascareformasi 1998.
Pada masa VOC awalnya
hubungan antara Belanda dan Indonesia adalah hubungan dagang. Namun lama
kelamaan VOC mendapatkan octroi monopoli,
hak untuk memonopoli perdagangan. Kemudian ditambah lagi VOC diberikan souverenitas (kedaulatan) yang membuat
VOC seolah-oleh menjadi suatu negara. Karena monopoli membuat nyaman dan
melenakan, keuangan VOC akhirnya memburuk dan krach karena patologi dari luar maupun dari dalam.
Pada zaman hindia
belanda, dalam bidang pemerintahan Daendels menerapkan sistem Pemerintahan
Daerah Perancis yang sentralistis. Pulau Jawa dibagi menjadi sembilan Gewest yang dikepalai oleh seorang Prefect. Selain itu Daendels berusaha
mengikat Bupati di pesisir utara pulau jawa dan Bupati di Priangan dan
diberikan status menjadi pegawai negeri di bawah Prefect. Untuk menjamin kehidupan para Bupati dan pegawainya,
diberikan kewenangan untuk mengadakan pungutan cukai 10% dari usaha hasil
petani dan diberikan kewenangan memungut pajak dari rakyatnya sejumlah 20% dari
hasil panen di daerahnya kepada pemerintah. Kemudian seiring berjalannya waktu
pada 1848 terjadi pembaruan hukum di Belanda sehingga diadakan kodifikasi hukum
pada 1 Mei 1848. Hal ini kemudian berimplikasi pada pengaturan di Indonesia
dengan pembentukan wilayah administratif secara hierarkis adalah Gewest (yang kemudian disebut Residentie), Afdeling, District,
Onderdistrict. Kemudian pada tahun 1903 dikeluarkan Wethoudende Decentralisatie van hat Bestuur in Nederlandsc Indie atau
yang dikenal Desentalisatie Wet 1903. Relaisasi lebih lanjut dari undang-undang ini
dilakukan dengan Decentralisatie Besluit
1905 dan Locale Redenordonantie.
Pada 1922 diundangkanlah Bestuurshervoming
Ordonantie yang kemudian lahir Provincie
Ordonantie. Kamudian dibentuk tata urutan pemerintahan provincien, regentschappen dan stadsgemeeenten. Hal ini berlaku di
jawa, sedang di luar jawa dibentuk provinsi administratif, bukan provinsi
otonom seperti di jawa. Kepada provinsi dan Kabupaten ini sudah diberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga masing-masing. Rincian
pengurusanpun sudah diberikan. Daerah-daerah yang dikuasai belanda diatur
dengan skema ini, tetapi ada daerah-daerah otonom yang terdiri dari
kerajaan-kerajaan asli seperti Yogyakarta dan Surakara yang disebut Zelfbesturende Landscappen yang memiliki
kontrak politik dengan Belanda.
Pada zaman pendudukan
Jepang, bekas jajahan belanda dibagi 3 komando yaitu : sumatera, jawa dan
madura, serta daerah-daerah lain. Kekuasaan militer ini dilaksanakan angkatan
masing-masing yang disebut Gunseikan .
baru pada tahun 1943 pemerintahan berada di satu tangan Saikosikikan . peraturan perundangan yang dikeluarkan disebut Osamuseirei , dan
pemberitaan-pemberitaannya dimuat dalam Kanpo
. Osamuseirei no 3 mengatur pemberian wewenang pada walikota yang semula
hanya berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya, kini wajib menjalankan
urusan pemerintahan umum. Kemudian melalui osamuseirei no 28 tahun 1942
menetapkan bahwa surakarta dan yogyakarta diubah menjadi Kooti. Syu dan Kooti merupakan daerah berdiri sendiri khusus
mengurus bidang ekonomi (pangan), sedangkan si dan ken dinyatakan tetap sebagai
daerah otonom. Akan tetapi keputusan-keputusan dapat dibatalkan oleh syutyokan.
Pada masa Republik
Indonesia setelah proklamasi, sehari setelahnya ditetapkan UUD 1945. Kemudian
melalui undang-undang No. 1 tahun 1945 ditetapkan bahwa daerah Indonesia dibagi
dalam 8 provinsi, Propinsi dibagi dalam Karesidenan dimana disamping gubernur
atau residen didampingi oleh Komite Nasional Daerah. Pemerintahan dari
karesidenan ada kota berotonomi, kabupaten dan lain-lain. Pada masa itu juga
sudah ada pembagian wewenang antar lapisan pemerintahan. Kemudian melalui UU
No.22/1948 Republik Indonesia dibagi-bagi menjadi daerah-daerah otonom dalam 3
tingkatan : Provinsi sebagai daerah tingkat I, Kabuapten dan Kota Besar sebagai
daerah tingkat II dan Desa dan kota kecil sebagai daerah tingkat III. Dalam
undang-undang ini hanya mengatur asas desentralisasi dan medebewind (tugas
pembantuan). Namun UU 22/1948 belum bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya
karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan peneyelenggaraan
pemerintahan di daerah sesuai undang-undang tersebut. Pelaksanaan undang-undang
ini dilakukan secara bertahap dengan membentuk Undang-undang pembentukan
provinsi yang sekaligus diberikan rincian urusan kewenangannya pada lampiran A.
selain urusan-urusan provinsi, dirinci pula urusan-urusan kabupaten. Urusan
provinsi tercatat ada 15 urusan dan kabupaten 14 urusan. Kemudian dibentuk
provinsi kalimantan dari yang sebelumnya provinsi administratif. Kepada
provinsi kalimantan ini diserahkan 9 urusan. Kabupaten-kabupaten di kalimantan
juga hanya diserahi 9 urusan. Sementara di sumatera dibentuk 3 provinsi yang
masing-masing hanya dibebani 7 urusan serta provinsi di indonesia timur yang
diberikan 7 urusan. Urusan-urusan ini dapat ditambah atau dikurangi dengan
ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kemudian dengan undang-undang no 5
tahun 1974 masing-masing daerah tingkat I dibebani 19 urusan. Daerah tingkat II
wajib menyelenggarakan urusan-urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Kemudian pasca
reformasi 1998, muncul pengaturan baru tentang pemerintahan daerha melalui UU
No 22 tahun 1999. Dalam undang-undang ini semangat yang diusung adalah semangat
otonomi daerah yang lebih banyak memberikan kewenangan kepaa daerah. Kewenangan
daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan di bidang lain. Implementasi UU no 22/1999 ini
melahirkan dampak-dampak yang tidak kondusif. Dalam pelaksanaannya di lapangan
terjadi banyak kasus perebutan kewenangan pusat daerah, maupun tata
pemerintahan daerah sendiri, ketidakharmonisan kepala daerah dengan DPRD,
penggelembungan dinas dan birokrasi lokal, minimnya investasi hingga
ketimpangan pendapatan antar daerah.
Kemudian UU No 32/2004
disahkan untuk mengganti UU No. 22/1999. Misi utama pemerintah daerah adalah
menyediakan pelayanan dasar dan mengembangkan sektor unggulan secara
demokratis. Bagian urusan pemerintahan dilaksanakan masing-masing tingkatan
pemerintahan berdasarkan 3 kriteria :
- Pusat :
berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monev, supervisi,
fasilitasi, dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional.
- Provinsi :
berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan
eksternalitas regional (lintas kab/kota).
- Kab/kota :
berwenang mengatur dan mengurus urusan-uruan pemerintahan dengan
eksternalitas lokal (dalam satu kab/kota).
UU No.32 tahun 2004 ini
juga membagi urusan pemerintahan menjadi 2, urusan wajib dan urusan pilihan.
Urusan wajib merupakan urusan yang harus ada berkaitan dengan pelayanan dasar.
Sedangkan urusan pilihan merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Urusan wajib ada 26,
sedangkan urusan pilihan ada 8 urusan. Bila dilihat dari penyerahan urusan
pusat ke daerah, kerangka UU no 32/2004
ini tidak memenuhi aspek edukasi, karena semua daerah dipukul rata dengan 26
urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Padahal kemampuan tiap daerah berbeda-beda
dan perlu pembelajaran secara gradual.
Dalam pembagian urusan,
antara UU no 22/1999 dan UU no 32/2004 memiliki perbedaan. Pada UU no 22/1999
memakai prinsip residual function,
artinay semua urusan pemerintahan yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam
PP 25/2000 sebagai kewenangan pusat atau provinsi menjadi kewenangan
kabupaten/kota. Sedangkan pada UU No 32/2004 menggunakan prinsip concurrence function artinya diterapkan
konkurensi pada setiap urusan pemerintahan. Apa yang dikerjakan di pusat juga
menjadi kewenangan provinsi dan kabuapaten/kota hanya skalanya yang berbeda.
Pusat memiliki skala nasional dan lintas provinsi, provinsi memiliki skala
regional lintas kabupaten/kota sedangkan kabupaten kota memiliki kewenangan
skala kabupaten/kota atas 31 urusan kabupaten/kota yang didesentralisasikan.
Pada bab III dibahas
mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Keuangan merupakan salah
satu aspek terpenting dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pemerintah daerah harus memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai untuk
membiayai penyelenggaraan urusan rumah tangganya sendiri.
Pada masa kolonial
belanda, selain dibentuk desentalisatie wet dan juga dibentuk provinsi-provinsi
otonom, kabupaten-kabupaten otonom dan kota-kota otonom, hubungan keuangan
diatur dengan apa yang disebut sluitpost syteem. Sesuadah proklamasi, UU no 1
tahun 1945 sudah mengatur tentang desentralisasi, namun hubungan keuangan belum
diatur. Dalam UU no 22 tahun 1948, hubungan keuangan diatur dalam Bab IV psal
37 sampai dengan 41. Pada masa orde baru UU no 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok
pemerintahan di daerah sangat sentralistis. Mengenai keuangan diatur dalam
bagian ketigabelas pasal 55 sampai pasal 64. Hanya saja peraturan pelaksanaanya
masih belum dibuat, sehingga ketentuan dalam UU no 32 tahun 1965 masih berlaku
dengan beberapa kebijakan baru. Baru pada masa reformasi diundangkanlah UU no
22 / 1999 tentang pemerintahan daerah dan hubungan keuangannya diatur dengan UU
25/1999. Kedua undang-undang ini tidak bertahan lama, kemudian diganti UU
32/2004 tentang pemerintahan daerah dan UU no 33 tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Pada masa kolonial, hubungan
keuangan disebut financieele verhouding
atau perimbangan keuangan. Hal ini baru dikenal pada tahun 1938 yang merupakan
suatu keharusan sebgai akibat dari usaha memperluas tugas gebiedsdelen met
eigen middelen, yaitu regentschappen dan stadsgemeenten yang dalam tahun 1936
menerima penyerahan urusan “sekolah rakyat” dan provincies yang diserahi
urusan-urusan pertanian rakyat, kehewanan dan sebagainya. Penyerahan
urusan-urusan tersebut merupakan dasar dari hubungan keuangan, sebab pada
pokoknya usaha-usaha dalam rangka hak otonomi, yaitu de zelfstandinge
behortiging van specifiek plaatselijke belangan harus dibiayai dengan pajak dan
retribusi daerah. Apabila terdapat ketekoran anggaran, maka digunakan sluitpost
systeem. Pada masa kemerdekaan dengan UU no 22 tahun 1948 daerah-daerah dalam
membiayai segala aktivitasnya maka diperlukan sumber keuangan. Sumber-sumber
keuangan daerah ini adalah : pajak daerah termasuk retribusi daerah, hasil
perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan pada daerah, lain-lain semisal
pinjaman, subsidi, hasil-hasil penjualan atau penyerahan barang milik daerah,
lain-lain seperti uang derma, warisan dari penduduk atau pendapatan undian.
Akan tetapi sampai tahun 1956 undang-undang pajak daerah belum ditetapkan.
Berikutnya mengenai
undang-undang no 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan yang disebut juga
Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957 karena mulai berlaku efektif 1 Januari
1957. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa pendapatan pokok daerah otonom
adalah pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan negara yang diserahkan pada
daerah, hasil perusahaan daerah, tunjangan dari pemerintah pusat berupa
ganjaran, subsidi dan sumbangan. Dalam buku ini diuraikan bagaimana
langkah-langkah menghitung dana perimbangan sesuai dengan formula yang berlaku
dan ditetapkan. Kemudian pada tahun 1965 dirumuskan undang-undang no 18 tahun
1965 ditemukan peraturan tentang keuangan daerah yang mengaskan bahwa sumber
keuangan daerah meliputi : hasil perusahaan daerah dan sebagian hasil
perusahaan negara, pajak-pajak daerah, retribusi daerah, pajak negara yang
diserahkan pada pemerintah daerah, bagian dari hasil pajak pemerintah pusat,
pinjaman, dan lain-lain hasil usaha yang sesuai dengan kepribadian nasional.
Kemudian ketika UU no 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah
dicabut, diundangkanlah UU no 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di
daerah. Dalam undang-undang ini disebutkan sumber pendapatan daerah adalah :
pendapatan asli daerah sendiri, yaitu : hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil perusahaan daerah, lain-lain hasil daerah yang sah, pendapatan
berasal dari pemberian pemerintah terdiri dari : sumbangan dari pemerintah,
sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan,
lain-lain pendapatan yang sah.
Berikutnya setelah
reformasi, perimbangan keuangan diatur dengan UU no 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam peraturan ini
dianut prinsip money follow function yang artinya setiap kewenangan yang diberikan
harus disertai dengan distribusi pemberian pembiayaan. Menurut undang-undang
ini sumber keuangan daerah baik provinsi, kabupaten maupun kotamadya adalah :
penerimaan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan non pajak, bantuan pusat
(APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II, pinjaman daerah, sisa lebih
anggaran tahun lalu, lain-lain penerimaan daerah yang sah. Dalam buku ini
dikupas secara mendalam mengenai penghitungan dan proyeksi masing-masing sumber
pendapatan.
Berikutnya adalah
diberlakukannya UU no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah dimana undang-undang ini muncul untuk memperbaiki kinerja keuangan
daerah, dan mengurangi ketergantungan daerah pada pemerintah pusat. Pengelolaan
keuangan daerah mengambil prinsip good governance, yang mndorong transparansi,
akuntabilitas, dan mengutamakan paritisipasi masyarakat dalam proses kebijakan.
UU no 33 tahun 2004 ini mirip dengan UU no 25 tahun 1999, yang membedakan
adalah sumber penerimaan daerah terdiri dari dua macam, yaitu pendapatan daerah
dan pembiayaan. Dalam buku ini dirinci masing-masing pendapatan daerah dan
pembiayaan beserta formula dan cara menghitungnya. Dalam buku ini juga
diberikan informasi mengenai pengukuran kinerja keuangan daerah.
Pada bab IV dibahas
mengenai hubungan pengawasan pemerintah pusat dan daerah. Pengawasan ini perlu
dilakukan dengan alasan pemerintah daerah perlu memberikan pelayanan pada
rakyatnya, sehingga perlu diberikan standar pelayanan minimal, menjaga dan
melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang dan penyalahgunaan
kekuasaan oleh pejabat-pejabat daerah. Di Indonesia pengawasan dilakukan dengan
tujuan tujuan sebagai berikut :
- Untuk
mengetahui apakah pelaksanaan telah sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan atau tidak
- Untuk mengetahui
kesulitan-kesulitan apa yang dijumpai oleh para pelaksana sehingga dengan
demikian dapat diambil langkah-langkah perbaikan di kemudian hari
- Mempermudah
dan memperingan tugas-tugas pelaksana, karena pelaksana tidak mungkin
dapat melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang dibuatnya karena
kesibukan sehari-hari.
- Pengawasan
bukanlah untuk mencari kesalahan melainkan untuk memperbaiki kesalahan.
Buku ini memiliki
keunggulan yang tidak dimiliki oleh buku-buku lain semisalkan Beberapa
Pemikiran tentang Otonomi Daerah karya Abdurrahman, SH dkk (1987), buku Dilema
Otonomi Daerah dan Masa Depan
Nasionalisme Indonesia oleh Sinambela dan Azhari (2003), buku Otonomi Daerah
dalam Negara Kesatuan karya Syaukani dkk (2002), dan buku Manajemen Otonomi
Daerah, Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru karya Teguh Yuwono dkk (2001),
buku ini memiliki keunggulan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
secara spesifik dan memotret dinamikanya dari masa ke masa. Informasi mengenai
dinamika hubungan pusat dan daerah dari masa ke masa ini sangat sulit ditemukan
di buku-buku sejenis mengenai otonomi daerah. Singkat kata, buku ini merupakan
salah satu referensi utama untuk mengetahui dinamika hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah dari masa ke masa.
Daftar
Pustaka :
Abdurrahman, SH (ed). 1987. Beberapa Pemikiran
tentang Otonomi Daerah. Media Sarana Press. Jakarta
Kaho, Josef Riwu. 2012. Analisis Hubungan Pemerintah
Pusat dan Daerah. JPP Press. Yogyakarta
Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rajawali Press. Jakarta
Sinambela, Mahadi dan Azhari. 2003. Dilema Otonomi
Daerah dan Masa Depan Nasionalisme
Indonesia. Penerbit Balairung & co. Yogyakarta
Syaukani HR, Affan Gafar, M.Ryaas Rasyid. 2002.
Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Yuwono, Teguh (ed). 2001. Manajemen Otonomi Daerah,
Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru. Clogapps Diponegoro University.
Semarang
No comments:
Post a Comment