Review buku Analisis Hubungan Pusat - Daerah

Judul buku         : Analisis Hubungan Pusat - Daerah
Pengarang           : Drs. Josef Riwu Kaho, MPA
Tahun terbit        : 2011

Buku Analisis Hubungan Pusat dan Daerah ini merupakan buku yang membahas secara komperhensif dinamika hubungan pusat dan daerah dari masa ke masa dalam lintasan sejarah bangsa dari mulai masa pemerintahan kolonial sampai pengaturan terbaru dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara umum, hubungan antara pusat dan daerah mencakup tiga aspek, yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan dan hubungan pengawasan. Buku ini mengupas secara mendalam hubungan yang terjadi dan juga dinamika hubungan tersebut dari masa ke masa, pengaturan ke pengaturan. Sistematika buku ini dibagi menjadi 5 Bab, yaitu pertama : Pendahuluan yang berisi sejarah hubungan pusat dan daerah menurut bentuk negara, hubungan pusat dan daerah di indonesia, konsep-konsep, prinsip maupun asas-asasnya. Kedua : hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Ketiga : hubungan keuangan antara pusat dan daerah dan keempat : hubungan pengawasan antara pusat dan daerah. Kelima yaitu penutup.

Hubungan antara pusat dan daerah akan selalu ada dalam suatu negara apapun bentuk negaranya, baik federal maupun kesatuan. Dikotomi antara negara federal dan kesatuan ini makin kabur ketika hubungan pusat dan daerah dalam negara federal maupun negara kesatuan hampir-hampir mirip. Dalam sejarahnya, dahulu bangsa kita juga pernah memiliki pengalaman menerapkan federasi, yaitu pada jaman kerajaan dahulu. Namun dengan disepakatinya UUD 1945 sebagai konstitusi, Indonesia secara otomatis menganut bentuk negara kesatuan dan dengan desentralisasi sebagai asas penyelenggaraan negaranya. Dan desentralisasi merupakan pilihan para founding fathers kita dalam penyelenggaraan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 berikut penjelasannya. Dalam penjabaran alasan mengenai dianutnya desentralisasi, penulis banyak mengutip pendapat para ahli, kemudian penulis sendiri menempatkan pendapatnya dengan mengikuti pendapat mariun yang lebih sederana namun sudah mencakup pengertian yang telah dijelaskan oleh para ahli yang lain, bahwa desentralisasi dianut demi tercapainya efektivitas pemerintahan dan demi terlaksananya demokrasi dari/di bawah (grassroots democracy).

Desentralisasi bukan merupakan sistem yang terbaik. Sistem ini juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi, muncullah daerah daerah otonom, yaitu daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Yang diatur dan diurus adalah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Teknik yang dapat digunakan untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana urusan daerah ada beberapa , yaitu : (1) sistem residu dimana  ditentukan dulu wewenang pusat, sisanya menjadi wewenang daerah, (2) sistem material dimana tugas pemerintah daerah ditetapkan satu per satu secara limitatif dan terinci, (3) sistem formal dimana urusan daerah tidak ditetapkan dengan undang-undang melainkan daeah boleh mengatur urusan yang dirasa penting bagi daerahnya selama tidak berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah di atasnya, (4) sistem otonomi riil dimana penyerahan urusan kepada daerah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan riil dari daerah dan (5) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab yang merupakan variasi dari otonomi riil yang tercantum dalam UU No 5 Tahun 1974. Urusan otonomi daerah ini tidak statis, tetapi dinamis : berkembang dan berubah. Hal ini karena terjadinya perubahan di masyarakat, sehingga urusan daerah dapat ditambah atau ditarik menurut situasi dan perspektif yang dipakai. Isi dalam bab ini sebagian besar sama dengan buku yang ditulis oleh penulis sebelumnya yaitu Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditulis pertama kali sejak tahun 1988.

Pada bab kedua diterangkan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kewenangan merupakan salah satu bentuk kekuasaan. Namun kewenangan memiliki dimensi keabsahan (legitimate). Dalam kekuasaan, kewenangan dirumuskan dalam bentuk urusan, yaitu segala aktivitas yang dapat dilaksanakan sebagai hasil dari kewenangan yang ada. Dalam buku ini dijelaskan secara gamblang hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sejak zaman VOC, Hindia Belanda, pendudukan Jepang, pada masa kemerdekaan hingga pascareformasi 1998.

Pada masa VOC awalnya hubungan antara Belanda dan Indonesia adalah hubungan dagang. Namun lama kelamaan VOC mendapatkan octroi monopoli, hak untuk memonopoli perdagangan. Kemudian ditambah lagi VOC diberikan souverenitas (kedaulatan) yang membuat VOC seolah-oleh menjadi suatu negara. Karena monopoli membuat nyaman dan melenakan, keuangan VOC akhirnya memburuk dan krach karena patologi dari luar maupun dari dalam.

Pada zaman hindia belanda, dalam bidang pemerintahan Daendels menerapkan sistem Pemerintahan Daerah Perancis yang sentralistis. Pulau Jawa dibagi menjadi sembilan Gewest yang dikepalai oleh seorang Prefect. Selain itu Daendels berusaha mengikat Bupati di pesisir utara pulau jawa dan Bupati di Priangan dan diberikan status menjadi pegawai negeri di bawah Prefect. Untuk menjamin kehidupan para Bupati dan pegawainya, diberikan kewenangan untuk mengadakan pungutan cukai 10% dari usaha hasil petani dan diberikan kewenangan memungut pajak dari rakyatnya sejumlah 20% dari hasil panen di daerahnya kepada pemerintah. Kemudian seiring berjalannya waktu pada 1848 terjadi pembaruan hukum di Belanda sehingga diadakan kodifikasi hukum pada 1 Mei 1848. Hal ini kemudian berimplikasi pada pengaturan di Indonesia dengan pembentukan wilayah administratif secara hierarkis adalah Gewest (yang kemudian disebut Residentie), Afdeling, District, Onderdistrict. Kemudian pada tahun 1903 dikeluarkan Wethoudende Decentralisatie van hat Bestuur in Nederlandsc Indie atau yang dikenal Desentalisatie Wet 1903.  Relaisasi lebih lanjut dari undang-undang ini dilakukan dengan Decentralisatie Besluit 1905 dan Locale Redenordonantie. Pada 1922 diundangkanlah Bestuurshervoming Ordonantie yang kemudian lahir Provincie Ordonantie. Kamudian dibentuk tata urutan pemerintahan provincien, regentschappen dan stadsgemeeenten. Hal ini berlaku di jawa, sedang di luar jawa dibentuk provinsi administratif, bukan provinsi otonom seperti di jawa. Kepada provinsi dan Kabupaten ini sudah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga masing-masing. Rincian pengurusanpun sudah diberikan. Daerah-daerah yang dikuasai belanda diatur dengan skema ini, tetapi ada daerah-daerah otonom yang terdiri dari kerajaan-kerajaan asli seperti Yogyakarta dan Surakara yang disebut Zelfbesturende Landscappen yang memiliki kontrak politik dengan Belanda.

Pada zaman pendudukan Jepang, bekas jajahan belanda dibagi 3 komando yaitu : sumatera, jawa dan madura, serta daerah-daerah lain. Kekuasaan militer ini dilaksanakan angkatan masing-masing yang disebut Gunseikan . baru pada tahun 1943 pemerintahan berada di satu tangan Saikosikikan . peraturan perundangan yang dikeluarkan disebut Osamuseirei , dan pemberitaan-pemberitaannya dimuat dalam Kanpo . Osamuseirei no 3 mengatur pemberian wewenang pada walikota yang semula hanya berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya, kini wajib menjalankan urusan pemerintahan umum. Kemudian melalui osamuseirei no 28 tahun 1942 menetapkan bahwa surakarta dan yogyakarta diubah menjadi Kooti. Syu dan Kooti merupakan daerah berdiri sendiri khusus mengurus bidang ekonomi (pangan), sedangkan si dan ken dinyatakan tetap sebagai daerah otonom. Akan tetapi keputusan-keputusan dapat dibatalkan oleh syutyokan.

Pada masa Republik Indonesia setelah proklamasi, sehari setelahnya ditetapkan UUD 1945. Kemudian melalui undang-undang No. 1 tahun 1945 ditetapkan bahwa daerah Indonesia dibagi dalam 8 provinsi, Propinsi dibagi dalam Karesidenan dimana disamping gubernur atau residen didampingi oleh Komite Nasional Daerah. Pemerintahan dari karesidenan ada kota berotonomi, kabupaten dan lain-lain. Pada masa itu juga sudah ada pembagian wewenang antar lapisan pemerintahan. Kemudian melalui UU No.22/1948 Republik Indonesia dibagi-bagi menjadi daerah-daerah otonom dalam 3 tingkatan : Provinsi sebagai daerah tingkat I, Kabuapten dan Kota Besar sebagai daerah tingkat II dan Desa dan kota kecil sebagai daerah tingkat III. Dalam undang-undang ini hanya mengatur asas desentralisasi dan medebewind (tugas pembantuan). Namun UU 22/1948 belum bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan peneyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai undang-undang tersebut. Pelaksanaan undang-undang ini dilakukan secara bertahap dengan membentuk Undang-undang pembentukan provinsi yang sekaligus diberikan rincian urusan kewenangannya pada lampiran A. selain urusan-urusan provinsi, dirinci pula urusan-urusan kabupaten. Urusan provinsi tercatat ada 15 urusan dan kabupaten 14 urusan. Kemudian dibentuk provinsi kalimantan dari yang sebelumnya provinsi administratif. Kepada provinsi kalimantan ini diserahkan 9 urusan. Kabupaten-kabupaten di kalimantan juga hanya diserahi 9 urusan. Sementara di sumatera dibentuk 3 provinsi yang masing-masing hanya dibebani 7 urusan serta provinsi di indonesia timur yang diberikan 7 urusan. Urusan-urusan ini dapat ditambah atau dikurangi dengan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kemudian dengan undang-undang no 5 tahun 1974 masing-masing daerah tingkat I dibebani 19 urusan. Daerah tingkat II wajib menyelenggarakan urusan-urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Kemudian pasca reformasi 1998, muncul pengaturan baru tentang pemerintahan daerha melalui UU No 22 tahun 1999. Dalam undang-undang ini semangat yang diusung adalah semangat otonomi daerah yang lebih banyak memberikan kewenangan kepaa daerah. Kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain. Implementasi UU no 22/1999 ini melahirkan dampak-dampak yang tidak kondusif. Dalam pelaksanaannya di lapangan terjadi banyak kasus perebutan kewenangan pusat daerah, maupun tata pemerintahan daerah sendiri, ketidakharmonisan kepala daerah dengan DPRD, penggelembungan dinas dan birokrasi lokal, minimnya investasi hingga ketimpangan pendapatan antar daerah.

Kemudian UU No 32/2004 disahkan untuk mengganti UU No. 22/1999. Misi utama pemerintah daerah adalah menyediakan pelayanan dasar dan mengembangkan sektor unggulan secara demokratis. Bagian urusan pemerintahan dilaksanakan masing-masing tingkatan pemerintahan berdasarkan 3 kriteria :
  1. Pusat : berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monev, supervisi, fasilitasi, dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional.
  2. Provinsi : berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas kab/kota).
  3. Kab/kota : berwenang mengatur dan mengurus urusan-uruan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu kab/kota).

UU No.32 tahun 2004 ini juga membagi urusan pemerintahan menjadi 2, urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib merupakan urusan yang harus ada berkaitan dengan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Urusan wajib ada 26, sedangkan urusan pilihan ada 8 urusan. Bila dilihat dari penyerahan urusan pusat ke daerah,  kerangka UU no 32/2004 ini tidak memenuhi aspek edukasi, karena semua daerah dipukul rata dengan 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Padahal kemampuan tiap daerah berbeda-beda dan perlu pembelajaran secara gradual.

Dalam pembagian urusan, antara UU no 22/1999 dan UU no 32/2004 memiliki perbedaan. Pada UU no 22/1999 memakai prinsip residual function, artinay semua urusan pemerintahan yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP 25/2000 sebagai kewenangan pusat atau provinsi menjadi kewenangan kabupaten/kota. Sedangkan pada UU No 32/2004 menggunakan prinsip concurrence function artinya diterapkan konkurensi pada setiap urusan pemerintahan. Apa yang dikerjakan di pusat juga menjadi kewenangan provinsi dan kabuapaten/kota hanya skalanya yang berbeda. Pusat memiliki skala nasional dan lintas provinsi, provinsi memiliki skala regional lintas kabupaten/kota sedangkan kabupaten kota memiliki kewenangan skala kabupaten/kota atas 31 urusan kabupaten/kota yang didesentralisasikan.

Pada bab III dibahas mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Keuangan merupakan salah satu aspek terpenting dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Pemerintah daerah harus memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan urusan rumah tangganya sendiri.

Pada masa kolonial belanda, selain dibentuk desentalisatie wet dan juga dibentuk provinsi-provinsi otonom, kabupaten-kabupaten otonom dan kota-kota otonom, hubungan keuangan diatur dengan apa yang disebut sluitpost syteem. Sesuadah proklamasi, UU no 1 tahun 1945 sudah mengatur tentang desentralisasi, namun hubungan keuangan belum diatur. Dalam UU no 22 tahun 1948, hubungan keuangan diatur dalam Bab IV psal 37 sampai dengan 41. Pada masa orde baru UU no 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah sangat sentralistis. Mengenai keuangan diatur dalam bagian ketigabelas pasal 55 sampai pasal 64. Hanya saja peraturan pelaksanaanya masih belum dibuat, sehingga ketentuan dalam UU no 32 tahun 1965 masih berlaku dengan beberapa kebijakan baru. Baru pada masa reformasi diundangkanlah UU no 22 / 1999 tentang pemerintahan daerah dan hubungan keuangannya diatur dengan UU 25/1999. Kedua undang-undang ini tidak bertahan lama, kemudian diganti UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah dan UU no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pada masa kolonial, hubungan keuangan disebut financieele verhouding atau perimbangan keuangan. Hal ini baru dikenal pada tahun 1938 yang merupakan suatu keharusan sebgai akibat dari usaha memperluas tugas gebiedsdelen met eigen middelen, yaitu regentschappen dan stadsgemeenten yang dalam tahun 1936 menerima penyerahan urusan “sekolah rakyat” dan provincies yang diserahi urusan-urusan pertanian rakyat, kehewanan dan sebagainya. Penyerahan urusan-urusan tersebut merupakan dasar dari hubungan keuangan, sebab pada pokoknya usaha-usaha dalam rangka hak otonomi, yaitu de zelfstandinge behortiging van specifiek plaatselijke belangan harus dibiayai dengan pajak dan retribusi daerah. Apabila terdapat ketekoran anggaran, maka digunakan sluitpost systeem. Pada masa kemerdekaan dengan UU no 22 tahun 1948 daerah-daerah dalam membiayai segala aktivitasnya maka diperlukan sumber keuangan. Sumber-sumber keuangan daerah ini adalah : pajak daerah termasuk retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan pada daerah, lain-lain semisal pinjaman, subsidi, hasil-hasil penjualan atau penyerahan barang milik daerah, lain-lain seperti uang derma, warisan dari penduduk atau pendapatan undian. Akan tetapi sampai tahun 1956 undang-undang pajak daerah belum ditetapkan.

Berikutnya mengenai undang-undang no 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan yang disebut juga Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957 karena mulai berlaku efektif 1 Januari 1957. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa pendapatan pokok daerah otonom adalah pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan negara yang diserahkan pada daerah, hasil perusahaan daerah, tunjangan dari pemerintah pusat berupa ganjaran, subsidi dan sumbangan. Dalam buku ini diuraikan bagaimana langkah-langkah menghitung dana perimbangan sesuai dengan formula yang berlaku dan ditetapkan. Kemudian pada tahun 1965 dirumuskan undang-undang no 18 tahun 1965 ditemukan peraturan tentang keuangan daerah yang mengaskan bahwa sumber keuangan daerah meliputi : hasil perusahaan daerah dan sebagian hasil perusahaan negara, pajak-pajak daerah, retribusi daerah, pajak negara yang diserahkan pada pemerintah daerah, bagian dari hasil pajak pemerintah pusat, pinjaman, dan lain-lain hasil usaha yang sesuai dengan kepribadian nasional. Kemudian ketika UU no 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah dicabut, diundangkanlah UU no 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Dalam undang-undang ini disebutkan sumber pendapatan daerah adalah : pendapatan asli daerah sendiri, yaitu : hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, lain-lain hasil daerah yang sah, pendapatan berasal dari pemberian pemerintah terdiri dari : sumbangan dari pemerintah, sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, lain-lain pendapatan yang sah.

Berikutnya setelah reformasi, perimbangan keuangan diatur dengan UU no 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam peraturan ini dianut prinsip money follow function yang artinya setiap kewenangan yang diberikan harus disertai dengan distribusi pemberian pembiayaan. Menurut undang-undang ini sumber keuangan daerah baik provinsi, kabupaten maupun kotamadya adalah : penerimaan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan non pajak, bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II, pinjaman daerah, sisa lebih anggaran tahun lalu, lain-lain penerimaan daerah yang sah. Dalam buku ini dikupas secara mendalam mengenai penghitungan dan proyeksi masing-masing sumber pendapatan.

Berikutnya adalah diberlakukannya UU no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah dimana undang-undang ini muncul untuk memperbaiki kinerja keuangan daerah, dan mengurangi ketergantungan daerah pada pemerintah pusat. Pengelolaan keuangan daerah mengambil prinsip good governance, yang mndorong transparansi, akuntabilitas, dan mengutamakan paritisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. UU no 33 tahun 2004 ini mirip dengan UU no 25 tahun 1999, yang membedakan adalah sumber penerimaan daerah terdiri dari dua macam, yaitu pendapatan daerah dan pembiayaan. Dalam buku ini dirinci masing-masing pendapatan daerah dan pembiayaan beserta formula dan cara menghitungnya. Dalam buku ini juga diberikan informasi mengenai pengukuran kinerja keuangan daerah.

Pada bab IV dibahas mengenai hubungan pengawasan pemerintah pusat dan daerah. Pengawasan ini perlu dilakukan dengan alasan pemerintah daerah perlu memberikan pelayanan pada rakyatnya, sehingga perlu diberikan standar pelayanan minimal, menjaga dan melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat daerah. Di Indonesia pengawasan dilakukan dengan tujuan tujuan sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau tidak
  2. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dijumpai oleh para pelaksana sehingga dengan demikian dapat diambil langkah-langkah perbaikan di kemudian hari
  3. Mempermudah dan memperingan tugas-tugas pelaksana, karena pelaksana tidak mungkin dapat melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang dibuatnya karena kesibukan sehari-hari.
  4. Pengawasan bukanlah untuk mencari kesalahan melainkan untuk memperbaiki kesalahan.
Buku ini memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh buku-buku lain semisalkan Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah karya Abdurrahman, SH dkk (1987), buku Dilema Otonomi Daerah dan  Masa Depan Nasionalisme Indonesia oleh Sinambela dan Azhari (2003), buku Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan karya Syaukani dkk (2002), dan buku Manajemen Otonomi Daerah, Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru karya Teguh Yuwono dkk (2001), buku ini memiliki keunggulan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah secara spesifik dan memotret dinamikanya dari masa ke masa. Informasi mengenai dinamika hubungan pusat dan daerah dari masa ke masa ini sangat sulit ditemukan di buku-buku sejenis mengenai otonomi daerah. Singkat kata, buku ini merupakan salah satu referensi utama untuk mengetahui dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dari masa ke masa.

Daftar Pustaka :

Abdurrahman, SH (ed). 1987. Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah. Media Sarana Press. Jakarta
Kaho, Josef Riwu. 2012. Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. JPP Press. Yogyakarta
Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rajawali Press. Jakarta
Sinambela, Mahadi dan Azhari. 2003. Dilema Otonomi Daerah dan  Masa Depan Nasionalisme Indonesia. Penerbit Balairung & co. Yogyakarta
Syaukani HR, Affan Gafar, M.Ryaas Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Yuwono, Teguh (ed). 2001. Manajemen Otonomi Daerah, Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru. Clogapps Diponegoro University. Semarang

No comments: