Tulisan ini hendak
menjelaskan instrumen desentralisasi fiskal yang bisa mengurangi vertical fiscal
imbalance dan horizontal fiscal imbalance. Kumorotomo (2008) membagi instrumen
desentralisasi fiskal secara umum menjadi 3 bagian besar yaitu pertama, revenue
sharing dimana pusat memberikan sebagian penerimaan pemerintah (biasanya dalam
bentuk hasil ekstraksi sumber daya alam, konsesi, dll) kepada daerah. Dalam
konteks Indonesia, revenue sharing ini diberikan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah berupa Dana Bagi Hasil non-pajak (DBH non-pajak). Kedua,
Fiscal sharing yaitu pusat membagi kewenangan memungut pajak dan belanja publik
kepada daerah. Dalam konteks Indonesia,
fiscal sharing ini diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
berupa Dana Bagi Hasil pajak (DBH pajak). Ketiga, pemberian subsidi (grants)
kepada pemerintah daerah. Dalam konteks Indonesia, subsidi/grants ini diberikan
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Otonomi Khusus (Otsus). Instrumen
desentralisasi fiskal mana saja yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal pusat
daerah (vertikal fiscal imbalance) dan instrumen desentralisasi fiskal yang
mana saja yang mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah (horizontal fiskal
imbalances) akan dibahas lebih lanjut pada paper ini.
Bahl (1998) menjelaskan
bahwa desentralisasi fiskal merupakan penyerahan kewenangan di bidang keuangan
antar tingkat pemerintahan yang mencakup bagaimana pemerintah pusat
mengalokasikan sejumlah besar dana dan/atau sumber-sumber ekonomi kepada daerah
untuk dikelola menurut kepentingan dan kebutuhan daerah itu sendiri. Bagi daerah, desentralisasi fiskal berfungsi untuk
menentukan jumlah uang yang akan digunakan pemerintah daerah untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Kepastian mengenai jumlah alokasi dan mekanisme
penyaluran akan menjadi bahan pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah
untuk merencanakan jenis dan tingkat pelayanan yang dapat diberikan kepada
masyarakat. Pada intinya, desentralisasi fiskal berupaya memberikan
jaminan kepastian bagi pemerintah daerah bahwa ada penyerahan kewenangan dan
sumber-sumber pendapatan yang memadai untuk memberikan pelayanan publik dengan
standar yang telah ditentukan. Di Indonesia, desentralisasi
fiskal ini diatur dengan UU No 33 Tahun 2004 mengenai perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah yang merupakan satu paket dengan UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam perjalanannya,
Pemerintah Indonesia terus mereformulasi dana perimbangan. Sehingga sampai saat
ini instrumen desentralisasi fiskal di Indonesia yang dilakukan dengan transfer
dana ke daerah melalui :
1.
DAU, dengan prinsip alokasi murni
DAU kepada daerah berdasar celah fiskal.
2.
DAK, dengan penyerahan urusan
pusat yang dikelola Kementerian / Lembaga ke daerah dimana pada tahun 2008 ada 11 Bidang, kemudian tahun 2010 ada 13 bidang
dan tahun 2011 menjadi 19 bidang.
3.
DBH, non pajak (SDA) dan Pajak. DBH non
pajak (SDA) di Papua/NAD lebih banyak dibanding daerah lain karena UU Otonomi
Khusus. Sedangkan Kapasitas fiskal melalui DBH pajak diatur dengan UU
28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB yang tadinya dikelola
pusat diserahkan ke Kabupaten/Kota.
4.
Dalam APBN 2010 terdapat formula baru
dana insentif bagi daerah berkinerja baik dengan Award (competitive
budget) yaitu daerah dengan kinerja keuangan, ekonomi dan kesejahteraan yang
dalam tiga tahun sebelumnya.
Dengan adanya
reformulasi tersebut, maka ketimpangan fiskal (fiscal imbalance) dapat
dikurangi. Ketimpangan fiskal terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesenjangan
fiskal pusat dan Daerah (Vertical Fiscal Imbalance) dan kesenjangan
fiskal antar daerah (Horizontal Fiscal Imbalance). Menjawab persoalan
dalam paper ini, instrumen desentralisasi fiskal yang bisa mengurangi vertical
fiscal imbalance adalah semua instrumen desentralisasi fiscal, yaitu instrumen
revenue sharing, fiscal sharing dan subsidi, yang dalam konteks Indonesia saat
ini adalah Dana Bagi Hasil (DBH), baik pajak maupun non pajak (SDA) dan juga
DAU, DAK serta Dana Otsus.
Baik Dana Bagi Hasil
(DBH), baik pajak maupun non pajak (SDA), DAU, DAK, Dana Otsus maupun dana
insentif bagi daerah berkinerja baik merupakan transfer keuangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga dengan demikian otomatis
kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah dapat lebih kecil dengan semua
instrumen ini, karena semua dana masuk ke daerah dan mengurangi alokasi di
pusat. Dengan kata lain, vertical fiscal imbalance dapat dikurangi. Pola
desentralisasi fiskal yang hingga sekarang diterapkan di Indonesia masih
terfokus pada otonomi pembiayaan, bukan pada otonomi pendapatan. Sekalipun
daerah memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan sendiri
tetapi ada pengecualian terhadap ekplorasi SDA. Eksplorasi SDA lebih merupakan
kewenangan pusat. Begitu pula pajak, pajak juga masih merupakan kewenangan
pusat, tetapi dengan adanya UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, PBB yang tadinya dikelola pusat diserahkan ke Kabupaten/Kota. Begitu
pula beberapa jenis pajak lain yang diserahkan kepada daerah melalui fiscal
sharing. Sehingga pola transfer keuangan dari pusat ke daerah, baik melalui
revenue sharing atau cost sharing dengan DBH maupun subsidi dengan DAU, DAK dan
dana otsusnya masih menjadi elemen penting untuk menunjang kapasitas keuangan
daerah, sehingga mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah
(vertical fiscal imbalance).
Sedangkan instrumen
desentralisasi fiskal yang bisa mengurangi horizontal fiscal imbalance adalah instrumen
subsidi (grants) khususnya dalam konteks Indonesia adalah melalui Dana Alokasi
Umum (DAU). DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi,
atau dengan kata lain mengurangi horizontal fiscal imbalance. Implikasinya, subsidi yang dialokasikan kepada setiap daerah dalam rangka
menjalankan kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat berbeda-beda. DAU ditransfer pemerintah pusat kepada daerah bersifat “block
grant”, yang berarti daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai
dengan prioritas dan kebutuhan daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan
kemampuan keuangan antardaerah.
Disparitas antar daerah (horizontal
fiscal imbalance) di Indonesia
masih sangat besar. Disparitas
antardaerah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketidakmerataan dalam hal
penguasaan sumber daya alam atau sumber penerimaan antara daerah satu dan
daerah lainnya, selain juga perkembangan industri setempat.
Landasan hukum pelaksanaan DAU adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah. Sebagai amanat UU No.33 Tahun
2004, alokasi yang dibagikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat
minimal 26 persen dari total penerimaan dalam negeri netto.
Dengan ketentuan tersebut maka,
bergantung pada kondisi APBN dan Fiscal Sustainability Pemerintah
Indonesia, alokasi DAU dapat lebih besar dari 26 persen dari total pendapatan
dalam negeri netto.
DAU diberikan berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal
merupakan kebutuhan daerah yang dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah,
kebutuhan daerah dihitung berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan
undang-undang sedangkan perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Penerimaan
Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil yang diterima daerah. Sementara Alokasi
Dasar dihitung berdasarkan gaji PNS daerah.
Kebutuhan Fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai
semua pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah
dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam perhitungan DAU, kebutuhan daerah
tersebut dicerminkan dari variabel-variabel kebutuhan fiskal sebagai berikut :
a.Jumlah Penduduk
b.Luas Wilayah
c.Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
d.Indeks Kemiskinan Relatif (IKR)
Kapasitas fiskal daerah merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk
menghimpun pendapatan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Potensi penerimaan
daerah merupakan penjumlahan dari potensi PAD dengan DBH Pajak dan SDA yang
diterima oleh daerah.
Berdasarkan UU diatas, setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang
lebih besar dari kebutuhan fiskal maka dapat menerima penurunan DAU, dan atau tidak menerima
sama sekali pada tahun berikutnya. Hal inilah yang digunakan
untuk mengurangi horizontal fiscal imbalance. Daerah “kaya” seperti DKI Jakarta, Riau dan Kaltim
diberikan DAU yang lebih kecil dibandingkan daerah lainnya dan bahkan ada wacana untuk penghapusan DAU di daerah-daerah
“kaya” tersebut.
Dalam mengurangi
horizontal fiscal imbalance ini, DAU bukan merupakan satu-satunya instrumen
yang bisa digunakan. Mekanisme subsidi antar daerah seperti yang terjadi di
Bali bisa menjadi contoh yang baik. Fiscal sharing berupa kewenangan pajak yang
diberikan ke daerah, berupa pajak hotel, restoran dan hiburan yang merupakan
fiscal sharing dari pusat kepada daerah, kemudian digunakan lebih lanjut dalam
subsidi antar daerah, karena daerah yang diberikan subsidi merupakan daerah
yang terdampak secara tidak langsung akibat aktivitas yang terjadi di daerah
yang memberikan subsidi. Konkritnya, Kabupaten Badung, Bali, yang memiliki
pajak hotel, restoran dan hiburan yang sekitar 1 trilliun rupiah per tahun
harus memberikan subsidi beberapa persen kepada kabupaten di sekitarnya dalam
bentuk subsidi dana infrastruktur untuk jalan dan irigasi. Hal ini juga bisa
dipakai untuk mengurangi horizontal fiscal imbalance, meskipun hanya dalam
skala lokal Provinsi Bali.
No comments:
Post a Comment