By the river piedra i sat down and wept, sebuah novel dari paulo coelho

       Sebuah tulisan lama. Tidak terlalu lama, sih. Baru kemarin beberapa hari setelah lebaran idul fitri. Ketika kubuka-buka, kemudian kubaca-baca, ternyata isinya lumayan juga. jadi tak ada salahnya kutaruh di blog ini. Semoga bermanfaat.

Berikut tulisannya :

        Sungguh hari yang hening, khidmat dan hangat. Setelah melalui pagi yang tak biasa, malas sekali hari ini beraktivitas keluar rumah. Bukan karena tak ada agenda. Tak seperti hari biasa, belakangan ini jalanan kota jogjakarta macet luar biasa. Sudah terbayang bagaimana jadinya kalau ikut menambah panjang barisan mengular antrian kendaraan di sepanjang jalan. lagipula beranjak siang sinar mataharipun mulai menyengat. Perfecto, menggenapi alasan untuk bermalas-malasan di rumah saja. Merendam kaki di kolam, sambil membaca buku sepertinya pilihan yang menarik...
         Jadilah bukunya om paulo coelho, by the river piedra i sat down and wept terpilih untuk disimak. Dan aku selalu suka bagian awal buku ini. Berikut bagiannya dengan sedikit penyesuaian...


          Di tepi sungai piedra aku duduk dan menangis. Ada suatu legenda bahwa segala sesuatu yang jatuh ke sungai ini – dedaunan, serangga, bulu burung – akan berubah menjadi batu yang membentuk dasar sungai. Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke arus, maka kepedihan dan rinduku akan berakhir, dan akhirnya aku melupakan semuanya.
         
         Di tepi sungai piedra aku duduk dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku terasa dingin, dan air mataku menetes ke air sungai dingin yang menggelegak melewatiku. Di suatu tempat entah di mana, sungai ini akan bertemu sungai lain, lalu yang lain lagi, hingga – jauh dari hati dan pandanganku – semuanya menyatu dengan lautan.

       Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat melupakan sungai piedra,  rumah tua di pegunungan pyrenee, kabut dan jalan-jalan yang kami lalui bersama.

         Aku akan melupakan jalan-jalan, pegunungan, dan padang-padang mimpi-mimpiku – mimpi-mimpi yang tak kan pernah menjadi kenyataan.

         Aku ingat “saat magis”ku – saat ketika sebuah “ya” atau “tidak” dapat mengubah hidup seseorang untuk selamanya. Rasanya sudah lama sekali. Sulit dipercaya baru minggu lalu aku menemukan cintaku lagi, dan kemudian kehilangan dirinya.

          Aku menulis kisah ini di tepi sungai piedra. Tanganku terasa beku, kakiku mati rasa, dan setiap menit aku ingin berhenti.

“Hiduplah. Mengenang hanya untuk orang-orang yang tua,” ia berkata.

       Mungkin cinta membuat kita menua sebelum waktunya – atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis – mencoba mengubah getir menjadi rindu, sepi menjadi kenangan. Sehingga ketika aku selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke piedra. Itulah yang dikatakan ibu-ibu  yang memberiku tempat menginap. Ketika itulah – seperti kata seseorang – air sungai akan memadamkan apa yang telah ditulis oleh lidah api.

Semua kisah cinta tiada berbeda
.................................................................................................................

*membaca buku-buku om paulo selalu saja menimbulkan pertanyaan terhadap hal-hal yang dianggap sudah mapan dan seharusnya, serta menciptakan perenungan untuk mengungkap makna di balik pertanda yang ditangkap dan diceritakan om paulo lewat buku-bukunya. Bagi anda, silakan diartikan sendiri maksud dari rangkaian kalimat om paulo ini. Namun bagi saya artinya dingin-dingin cekit-cekit digigitin ikan-ikan yang makin lama makin berkurang saja jumlahnya ... 

No comments: