Sebuah tulisan lama. Tidak terlalu
lama, sih. Baru kemarin beberapa hari setelah lebaran idul fitri. Ketika kubuka-buka,
kemudian kubaca-baca, ternyata isinya lumayan juga. jadi tak ada salahnya
kutaruh di blog ini. Semoga bermanfaat.
Berikut tulisannya :
Sungguh hari yang hening, khidmat
dan hangat. Setelah melalui pagi yang tak biasa, malas sekali hari ini
beraktivitas keluar rumah. Bukan karena tak ada agenda. Tak seperti hari biasa,
belakangan ini jalanan kota jogjakarta macet luar biasa. Sudah terbayang
bagaimana jadinya kalau ikut menambah panjang barisan mengular antrian
kendaraan di sepanjang jalan. lagipula beranjak siang sinar mataharipun mulai
menyengat. Perfecto, menggenapi alasan untuk bermalas-malasan di rumah saja.
Merendam kaki di kolam, sambil membaca buku sepertinya pilihan yang menarik...
Jadilah bukunya om paulo coelho,
by the river piedra i sat down and wept terpilih untuk disimak. Dan aku selalu
suka bagian awal buku ini. Berikut bagiannya dengan sedikit penyesuaian...
Di tepi sungai piedra aku duduk
dan menangis. Ada suatu legenda bahwa segala sesuatu yang jatuh ke sungai ini –
dedaunan, serangga, bulu burung – akan berubah menjadi batu yang membentuk
dasar sungai. Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke
arus, maka kepedihan dan rinduku akan berakhir, dan akhirnya aku melupakan
semuanya.
Di tepi sungai piedra aku duduk
dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku
terasa dingin, dan air mataku menetes ke air sungai dingin yang menggelegak
melewatiku. Di suatu tempat entah di mana, sungai ini akan bertemu sungai lain,
lalu yang lain lagi, hingga – jauh dari hati dan pandanganku – semuanya menyatu
dengan lautan.
Semoga air mataku mengalir
sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah
menangis untuknya. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat
melupakan sungai piedra, rumah tua di
pegunungan pyrenee, kabut dan jalan-jalan yang kami lalui bersama.
Aku akan melupakan jalan-jalan,
pegunungan, dan padang-padang mimpi-mimpiku – mimpi-mimpi yang tak kan pernah
menjadi kenyataan.
Aku ingat “saat magis”ku – saat
ketika sebuah “ya” atau “tidak” dapat mengubah hidup seseorang untuk selamanya.
Rasanya sudah lama sekali. Sulit dipercaya baru minggu lalu aku menemukan
cintaku lagi, dan kemudian kehilangan dirinya.
Aku menulis kisah ini di tepi
sungai piedra. Tanganku terasa beku, kakiku mati rasa, dan setiap menit aku
ingin berhenti.
“Hiduplah. Mengenang hanya untuk
orang-orang yang tua,” ia berkata.
Mungkin cinta membuat kita menua
sebelum waktunya – atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana
mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis –
mencoba mengubah getir menjadi rindu, sepi menjadi kenangan. Sehingga ketika aku
selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke
piedra. Itulah yang dikatakan ibu-ibu
yang memberiku tempat menginap. Ketika itulah – seperti kata seseorang –
air sungai akan memadamkan apa yang telah ditulis oleh lidah api.
Semua kisah cinta tiada berbeda
.................................................................................................................
*membaca buku-buku om paulo
selalu saja menimbulkan pertanyaan terhadap hal-hal yang dianggap sudah mapan
dan seharusnya, serta menciptakan perenungan untuk mengungkap makna di balik
pertanda yang ditangkap dan diceritakan om paulo lewat buku-bukunya. Bagi anda,
silakan diartikan sendiri maksud dari rangkaian kalimat om paulo ini. Namun
bagi saya artinya dingin-dingin cekit-cekit digigitin ikan-ikan yang makin lama
makin berkurang saja jumlahnya ...
No comments:
Post a Comment