Judul
buku : Employment, Living Standards
and Poverty in Contemporary Indonesia
Editor : Chris Manning dan Sudarno
Sumarto
Penerbit
: ISEAS (Institute of South East
Asian Studies), Singapore
Bagian
review : Part 4, connecting with the poor
: Goverment Policies and programs
Chapter 13, the evolution of poverty
allevation policies : ideas, issues and actors
Chapter 14, reducing poverty by increasing
community and family participation
Chapter 15, targeting of the poor and
vulnerable
Chapter 16, Social assistance : understanding
the gaps
Kemiskinan di Indonesia
merupakan permasalahan klasik yang terus berlangsung sampai dengan saat ini dan
tak kunjung menemukan ujung penyelesaiannya. Pemerintah yang berkuasa memegang
tanggung jawab terbesar dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ini, karena
kemiskinan merupakan penghalang utama dalam mencapai tujuan negara yang terumus
dalam konstitusi kita : kesejahteraan umum. Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah telah merumuskan dan menerapkan
berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, dari sejak jaman
kemerdekaan Indonesia sampai pergantian dari rejim ke rejim penguasa. Sejak
merdeka sampai dengan saat ini, berbagai kebijakan dan program tersebut secara
statistik memang berhasil menurunkan angka kemiskinan. Namun saat inipun angka
kemiskinan masih cukup tinggi, mencapai 13,02% total penduduk Indonesia, atau
masih lebih dari 31 juta rakyat Indonesia. Artinya pemerintah masih memiliki PR
besar untuk memberantas kemiskinan dan menghadirkan kesejahteraan untuk
rakyatnya.
Review buku ini
menghadirkan pembahasan mengenai Kebijakan-kebijakan dan program-program
pemerintah yang menghubungkan dengan orang miskin, dalam rangka pengentasan
kemiskinan. Dalam chapter 13, the evolution of poverty alleviation policies :
ideas, issues and actors dibahas secara gamblang mengenai evolusi kebijakan dan
program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pada saat orde
baru dan kemudian beralih ke krisis ekonomi dan reformasi. Dalam peralihan masa
ini, kebijakan dan program pemerintah mengalami perubahan-perubahan dalam
konsepsi ide dan aktor yang terlibat untuk menghadapi isu yang berkembang saat
itu. Hal-hal ini semata untuk mendapatkan program penanggulangan kemiskinan
yang efektif, dimana efektivitas ini akan tercapai dengan komitmen serius dan
aksi nyata dari para pemimpin politik. Perubahan konstelasi politik dan
struktur pemerintahan dari orde baru ke reformasi dimana terjadi keterbukaan
politik, desentralisasi dan sistem politik, membawa perubahan pula pada
pola-pola kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
Sejak merdeka,
Indonesia telah mengalami permasalahan kemiskinan yang serius. Pada tahun 1950
sampai awal 1960 sangat sedikit yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
kemiskinan. Pemerintahan Soekarno saat itu dengan demokrasinya, malah
mengakibatkan ekonomi jatuh dan kemiskinan sangat tinggi. Pada masa orde baru
dengan teknokrasinya membangun ekonomi dan memfokuskan pada stabilitas ekonomi
makro untuk mengurangi inflasi, menstabilkan harga dan menumbuhkan ekonomi.
Tujuan reformasi ekonomi orde baru saat itu bukan untuk mengurangi kemiskinan
dengan menjalankan program yang mentarget langsung ke orang miskin. Baru pada
dua dekade berikutnya pembangunan ekonomi dikombinasikan dengan program
kesejahteraan sosial seperti swasembada pangan, pendidikan, gizi, pembangunan
jalan dan infrastruktur yang kemudian memberikan kontribusi besar terhadap
penanggulangan kemiskinan. Namun ternyata tidak semua rakyat Indonesia
menikmati program pengentasan kemiskinan orde baru. Keluarga miskin terutama di
desa masih terjebak dalam kemiskinan.kemudian pada 1994, pemerintah melalui
Bappenas memberikan pendampingan selama 3 tahun ke 2000 desa yang miskin dan
tertinggal di negara ini. Program ini dinamakan Inpres Desa tertinggal, yang
menggunakan target geografis untuk mengidentifikasi desa yang dapat bantuan dan
menggunakan mekanisme block grant yang kemudian dibentuk sistem revolving modal
yang digunakan untuk kaum miskin. Meskipun menghasilkan efek positif, tetapi
program ini banyak catatan, antara lain mengenai efektivitas metode pentargetan
program dan pencapaian tujuan kebijakan yang menjadi PR serius bagi Bappenas.
Krisis ekonomi 1997
membuat lebih banyak orang terjerembab ke dalam kemiskinan. Sekitar 49 juta
atau 24% rakyat masuk ke kemiskinan. Kemudian terjadi peralihan kekuasaan dari
orde baru ke reformasi. Pemerintahan yang baru segera meluncurkan program
kesejahteran sosial darurat, yaitu program Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS
ini didanai dari pinjaman luar negeri. JPS merupakan program payung dengan
turunan program penciptaan lapangan kerja (program padat karya, block grant dan
kredit usaha kecil), program keamanan pangan, akses kesehatan dasar, dan paket
bantuan pendidikan. JPS diharapkan menjadi bantuan darurat langsung kepada kaum
miskin, tetapi kenyataannya program ini sasarannya meleset, tidak pas langsung pada
orang yang miskin.
Pasca krisis ekonomi,
kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil pemerintah lebih variatif.
Sebagai contoh kebijakan untuk memperluas target bantuan sebagai kompensasi
atas kebijakan pengurangan subsidi BBM. Kenaikan harga minyak dunia dan
besarnya beban subsidi BBM yang ditanggung pemerintah membuat pemerintah
mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi BBM yang berakibat pada naiknya
harga BBM. Sebagai kompensasinya, pemerintah mengalokasikan dana lebih banyak
untuk program penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan sosial termasuk
memperluas target sasaran programnya. Pemerintah mengalokasikan 11 triliun
untuk program pemberian uang langsung atau yang dikenal dengan BLT (bantuan
langsung tunai). Selain itu masih ada program-program lain yang menyasar orang
miskin, antara lain program pembangunan infrastruktur desa, program kompensasi
pendidikan dan kesehatan. Pada pertengahan 2005 diluncurkan program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang menyasar langsung ke sekolah-sekolah. Kemudian
dalam bidang kesehatan diluncurkan asuransi sosial untuk orang miskin dengan
nama Askeskin. Sebagai pengaman atas naiknya BBM, program BLT diluncurkan
dengan memberikan uang tunai sebesar 100 ribu rupiah per bulan selama 12 bulan
bagi 15 juta masyarakat miskin. Kali ini metode mentarget sasaran dengan
pendekatan baru yang dirasa lebih efektif dan tepat sasaran. Pada kenaikan
harga minyak tahun 2008 program BLT juga diberikan lagi, namun kali ini menjadi
bola politik dengan isu pemenangan kembali incumbent presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam pemilu 1999.
Selain pemberian uang
secara langsung lewat BLT, pemerintah juga mengembangkan program pengentasan
kemiskinan yang memberikan uang secara sementara untuk mengatasi kemiskinan
yang kronis. Program ini adalah PNPM. PNPM merupakan pengembangan dari Program
Pengembangan Kecamatan (PPK). PNPM ini menyediakan block grant dana kepada
komunitas masyarakat lokal. PNPM ini adalah program sementara yang memberikan
transfer uang langsung dari pusat kepada level terbawah dan melibatkan
sesedikit mungkin birokrasi yang ditengarai sebagai sarang korupsi. PNPM ini
menyasar komunitas dengan harapan langsung melibatkan masyarakat miskin dan
perempuan sehingga efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Sebagai pelengkap, diluncurkanlah
Program Keluarga Harapan (PKH). PKH ini diluncurkan di 7 provinsi dengan tujuan
meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta memberika pendidikan dasar dan
menengah kepada orang miskin. Program ini diurusi oleh kementerian sosial.
Namun PNPM di bawah urusan kementerian dalam negeri. Partisipan dari program
PKH dan program PNPM Generasi ini hampir sama, sehingga kedua program ini harus
lebih jelas dan tidak tumpang tindih. Sebagai informasi, keberhasilan PNPM ini
telah nampak dan dirasakan oleh masyarakat indonesia terutama dalam membangun
infrastruktur pedesaan.
Kebijakan pengentasan
kemiskinan, akhir-akhir ini menjadi isu politis, sehingga muncullah politik
kemiskinan. Politik kemiskinan ini membahas beberapa isu dan tantangan, antara
lain yang pertama adalah berapa banyak uang yang dialokasikan untuk program
kesejahteraan sosial. Persentase penggunaan anggaran dan nilai anggaran untuk
penangulangan kemiskinan ini meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan
anggaran ini antara lain transfer anggaran ke daerah dan pengeluaran pemerintah
pusat untuk penganggulangan kemiskinan yang pada tahun 2010 meningkat sampai 48
persen.
Isu dan tantangan yang
kedua adalah dari legislatif. Dugaan politisasi BLT mengakibatkan para anggota
DPR menuntut adanya dana aspirasi yang dikuasakan pada masing-masing anggota
DPR untuk selanjutnya diberikan kepada konstituennya. Hal ini untuk meningkatan
popularitas para anggota parlemen. Tetapi hal ini ditolak karena diindikasi
menjadi lahan korupsi baru.
Isu berikutnya adalah
pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Tiap tahun
sekitar 30 persen belanja pemerintah pusat diberikan kepada pemerintah daerah.
Harapannya dengan ditopang oleh pendapatan lokal daerah dapat meningkatkan
pembangunan infrastruktur, menyediakan pelayanan publik dan mengurangi
kemiskinan di daerah. Tetapi hal ini masih menuai tantangan dengan banyaknya
kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran publiknya.
Isu terakhir yaitu
terkait dengan agensi dan koordinasi. Program penanggulangan kemiskinan dahulu
hanya dipusatkan di satu agensi, yaitu Bappenas. Namun, saat ini banyak sekali
yang mengurusi program penanggulangan kemiskinan, seperti Bappenas sendiri,
Kementerian dalam negeri, kementerian sosial, Kemenko kesra, dan satu lagi
lembaga yang dibentuk adalah tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan
(TNP2K) yang berada di bawah wakil presiden. Hal ini memunculkan kerumitan
terkait koordinasi yang dilakukan. Apalagi tanpa dukungan politis, gerak TNP2K
untuk mengkoordinasikan penanggulangan kemiskinan antar agensi sangat berat.
Tantangan-tantangan dan
isu-isu ini harus segera direspon pemerintah dengan memperbanyak dana untuk
penanggulangan kemiskinan, bukan hanya dari pemerintah pusat, tapi juga
pemerintah daerah, mekanisme demokrasi dan check-balances tetap dijaga namun
jangan sampai menjadi ganjalan program, desentarlisasi yang tidak siginifikan
terhadap penanggulangan kemiskinan harus dievaluasi dan pemerintah pusat
berkewajiban melakukan penataan kembali koordinasi program-program
penanggulangan kemiskinan.
Pada chapter 14, dibahas mengenai pengurangan
kemiskinan melalui peningkatan partisipasi komunitas dan perempuan. Dalam
tulisan ini dibahas mengenai partisipasi komunitas masyarakat dan perempuan
dalam program penanggulangan kemiskinan. Partisipasi komunitas dan perempuan
ini difokuskan dalam 2 program, yaitu program PNPM dan PKH. PNPM sebagai
program anti-kemiskinan memiliki konsep paradigma pembangunan yang bottom up
dan pemanfaatan potensi lokal. PNPM ini merupakan gabungan dari program
pengembangan kecamatan (PPK) dan Program kemiskinan kota ditambah dengan proyek
bantuan block grant untuk desa, program pengembangan infrastruktur desa serta
peningkatan pendapatan petani dan nelayan. Program PNPM ini akan habis ketika
pendanaan dari donor terhenti.
PNPM merupakan program
payung yang bertujuan membuka lapangan kerja dan pemberdayaan komunitas. PNPM
terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan geografis dan berdasarkan sektor. PNPM
ini memberikan peningkatan kapasitas kepada komunitas untuk mengatasi
masalahnya sendiri. PNPM memberikan block grant secara langsung kepada
komunitas dengan pendampingan dari fasilitator yang merupakan agen perubahan.
PNPM ini memiliki tiga mekanisme, yaitu perencanaan program yang dibina dan dianggarkan
oleh Bappenas, implementasi yang dilakukan oleh kementerian teknis terkait dan
koordinasi program yang dilakukan oleh kemenko kesra. Pembentukan TNP2K
akhirnya membuat koordinasi dengan PNPM tidak jelas.
Evaluasi PNPM
menunjukkan bahwa dana block grant PNPM kebanyakan digunakan untuk menyediakan
atau memperbaiki infrastruktur skala kecil. Kemudian hal ini menimbulkan efek
domino seperti membuka lapangan pekerjaan dan membuka isolasi area. Dana ini
memberikan dampak signifikan terhadap tingkat pengangguran dan kemiskinan. PNPM
ini menjadi jaring pengaman di desa yang efektif terutama pada saat musim
dimana petani menganggur (off season). Kemudian untuk partisipasi perempuan,
PNPM ini memberikan akses khusus berupa simpan pinjam khusus perempuan. Hal ini
meningkatkan partisipasi dan kepercayaan diri perempuan melalui simpan pinjam
dengan model perguliran modal. Meski demikian PNPM masih memiliki tantangan
untuk menurunkan kemiskinan. Keberhasilan PNPM belum nampak dalam kehidupan
masyarakat desa yang termiskin. Block grant yang diarahkan ke pembangunan
infrastruktur memberi manfaat pada kelompok miskin ataupun tidak, tetapi tidak
memberikan efek langsung pada konsumsi masyarakat miskin.
PNPM merupakan salah
satu komponen dari strategi yang lebih lebar daripada pengentasan kemiskinan.
Lebih jauh dari penanggulangan kemiskinan, pemerintah ingin program ini juga
menumbuhkan sektor yang memberikan manfaat pada orang miskin. PNPM berfokus
pada penggunaan sumber daya lokal dan pembangunan infrastruktur desa untuk
diversifikasi bisnis di desa, menumbuhkan UMKM dan memberikan akses lebih baik
ke sumber daya dan pasar.
Karena PNPM ini adalah
program ad hoc yang pendanaannya berasal dari pinjaman luar negeri, maka
keberlanjutan PNPM perlu dipikirkan. Untuk itu pertama perlu keterlibatan semua
pihak, termasuk kementerian teknis, pemerintah lokal dan korporasi untuk lebih
berperan dalam mentarget kemiskinan, termasuk mengidentifikasi kantong-kantong
kemiskinan yang berada di desa. kemudian program yang ditujukan ke
masing-masing desa harus memberikan manfaat pada kaum tidak berpunya. Dan
ketiga meningkatkan kapasitas pemerintah lokal untuk mengambil alih perencanaan
yang pro miskin, penganggaran dan manajemen kebutuhan yang lebih baik.
Program berikutnya
adalah program keluarga harapan (PKH) yang merupakan program pemberian uang
tunai yang kondisional untuk memberikan bantuan kepada keluarga (khususnya kaum
ibu) yang memberikan investasi jangka panjang kepada pendidikan dan kesehatan
seluruh anggota keluarga. Kaum ibu yang diberikan akses dana ini karena
asumsinya ibu lah yang memegang keuangan keluarga. Pendidikan dan kesehatan ini
sekaligus indikator MDGs sehingga program ini juga ditujukan untuk mencapai
goal MDGs pada 2015. Orang tidak bersekolah atau tidak mau memeriksakan
kesehatannya biasanya karena alasan tidak punya uang, sehingga program ini
memberikan uang cash untuk mengatasi masalah ini. PKH ini mentargetkan
keluarga-keluarga termiskin, sehingga pemerintah mencoba menargetkan pendanaan
program ini bukan dari anggaran sendiri, tapi menawarkan pada agensi
internasional untuk mendukung program ini.
Program PKH telah
meningkatkan jumlah kunjungan ibu dan anak ke fasilitas kesehatan lokal seperti
puskesmas. Juga telah mengurangi jumlah siswa putus sekolah. Hal ini berarti
tujuan program PKH untuk memperbaiki akses pendidikan dan kesehatan telah
menunjukkan dampak yang signifikan. Tentunya dengan keterlibatan pemerintah
lokal dan institusi pendidikan serta kesehatan yang ada di masyarakat.
Kedua program, PNPM dan
PKH penting dan efektif menjaring keterlibatan komunitas dan perempuan dalam
mencapai penurunan kemiskinan yang signifikan. Program ini juga telah
memberikan peluang keterlibatan komunitas dan perempuan dalam pemberantasan
kemiskinan. Strategi untuk melibatkan komunitas dan perempuan dalam mengurangi
kemiskinan sangat menjanjikan. Tantangannya adalah mempertahankan dan
meningkatkan hasil yang telah dicapai. Ke depan pemerintah pusat perlu
mempengaruhi pemerintah daerah untuk lebih terlibat dan bertanggung jawab dalam
PNPM dan PKH. Dengan program ini keterlibatan dalam pengambilan keputusan
publik meningkat. Singkat kata, program ini telah berhasil sesuai tujuan
kebijakannya hanya saja perlu banyak aksi dan keterlibatan dari pemerintah
lokal untuk keberlanjutan program ke depannya.
Chapter 15, targeting
of the poor and vulnerable membahas mengenai metode targeting yang dilakukan
dalam program penanggulangan kemiskinan di Indonesia serta dampaknya, baik
efektivitas program maupun efisiensi programnya. Dalam chapter ini diceritakan
evolusi target dari program-program sosial dan kemudian dibahas pendekatan lain
dalam mentarget si miskin dan diukur efektivitas program dengan metode target
yang sekarang. Kemudian ditawarkan beberapa kemungkinan targeting untuk program-program
yang akan dilakukan ke depan.
Generasi pertama
program kesejateraan sosial yang mentargetkan rumah tangga adalah program JPS.
Tetapi program ini tidak tepat menyasar kebanyakan orang termiskin. Selanjutnya
adalah kebijakan kompensasi atas kenaikan harga BBM, dimana muncul kebijakan
askeskin yang kemudian berubah menjadi jamkesmas, kebijakan BLT, dan raskin.
Target dari kebijakan-kebijakan ini lebih lebar, dimana ditujukan kepada
masyarakat miskin dan para rumah tangga dekat miskin selama krisis berlangsung.
Targeting ini penting
karena terkait dengan efektivitas program dan juga ketersediaan sumber dana
(efisiensi). Selain itu penduduk yang banyak, persebaran geografis dan struktur
desentralisasi dikombinasikan dengan kesenjangan yang masih tinggi menguatkan
pentingnya memilih metode targeting yang tepat. Metode targeting bervariasi.
Suatu program dapat mentarget individual atau rumah tangga secara langsung,
mentarget semua orang atau kantong kemiskinan, dan membuat program yang
memungkinkan semua orang untuk mengaksesnya.
Dua metode utama yang
sering digunakan di negara berkembang untuk mengakses secara langsung individu
atau rumah tangga adalah proxy mean testing dan community based targeting.
Proxy mean testing mengklasifikasikan rumah tangga sebagai miskin atau tidak
berdasarkan karakteristik rumah tangga yang mudah diamati seperti lokasi,
kepemilikan aset, demografi rumah tangga dan terkadang pendidikan atau
pekerjaan orang tua. Indikator-indikator ini berhubungan langsung dengan status
ekonomi rumah tangga dan dapat juga disederhanakan menjadi income dan belanja
per bulan, misalnya. informasi ini harus diverifikasi oleh aparat dengan
mengunjungi rumahnya. Sedangkan community based targeting menggunakan
pengetahuan lokal untuk mengidentifikasi orang miskin dan tak berpunya. Dengan
ini kepala komunitas atau representasi komunitas dapat dilibatkan untuk proses
seleksi.
Ada pula metode
targeting dengan kategoris. Kategoris ini biasanya mengklasifikasi sub kelompok
yang boleh untuk mendapatkan program. Contohnya kesehatan anak-anak untuk usia
0-5 tahun, bantuan pendidikan untuk anak SD, bantuan dana untuk janda, dan
lain-lain. Metode ini sering disebut juga targeting geografis. Biasanya di
indonesia menggunakan metode targeting kategori ini dan digabungkan dengan
metode lainnya. Yang terakhir adalah self targeting yang membolehkan semua
orang mengakses manfaat proses program. Tetapi biaya untuk mendapatkan akses
lebih kecil orang miskin daripada yang tidak miskin.
Di
Indonesia program kesejahteraan sosial biasnya menggunakan kombinasi targeting
antara proxy mean testing, community based targeting, dan geographical
targeting. Sebagai contoh program raskin, jamkesmas dan BLT, ketiganya
mentarget orang miskin dan dekat miskin denan pendapatan perkapita sekitar 240
ribu per orang per bulan. Semua program sudah jelas menyasar orang dengan
kategori tertentu, namun target yang tercapai tidak bisa 100%, karena
sosialisasi program yang jelek dan praktek yang tidak konsisten di tingkat
bawah. Hal ini menyebabkan target si miskin yang dimaksud mengalami bias.
Kenyataannya di
Indonesia program-program pengentasan kemiskinan malah banyak dinikmati oleh
masyarakat yang tidak miskin. Sehingga perlu untuk meningkatkan performa
targeting di Indonesia.pertama perlu menentukan metode targeting mana yang
paling cocok untuk konteks indonesia dan cara terbaik untuk melakukannya.
Kedua, sosialisasi dan mengikat komitmen program ke semua lapisan yang perlu
ditingkatkan performanya.
Sebagai contoh program
keluarga harapan (PKH) yang menggunakan proxy mean testing dimana warga yang
lebih miskin tidak mendapatkan program karena rumahnya lebih bagus, padahal
sebenarnya lebih miskin. Hal ini membuat orang yang sebenarnya miskin malah
tidak mendapatkan akses program. Program-program pengentasan kemiskinan di
Indonesia ini menggunakan kombinasi proxy means testing, geographical targeting
dan pendekatan community based untuk mentarget penerima manfaat. Ketika tiap
program menggunakan pendekatan yang berbeda dalam targetingnya, karena sudah
terbiasa operator di lapangan seringkali memperlakukan dengan pendekatan yang
sama tiap program. Hal inilah yang membuat targeting menjadi tidak efektif.
Sebagai solusi kedepan
perlu dikembangkan data kemiskinan yang bisa digunakan untuk targeting
geografis. Kemudian BPS harus mengupdate survey kemiskinan secara berkala. 5
tahun sekali seperti survey BPS seringkali menimbulkan bias dan sudah banyak
perubahan dalam masyarakat. Untuk efektivitas targeting ini yang paling penting
adalah kejelasan program dan targetnya.
Chapter 16, sosial
assistance : understanding the gaps memaparkan mengenai gaps yang terjadi
antara maksud atau tujuan program dengan kenyataan riil yang terjadi di
lapangan. Gaps ini antara lain orang yang berisiko miskin tidak tercover dalam
program, beberapa kelompok miskin tidak tercover dalam program, dan beberapa
anggota target group tidak memiliki akses ke program. Banyak sekali program
kemiskinan, tetapi penurunan angka kemiskinan tidak signifikan. Bisa jadi gaps
inilah penyebabnya.
Berdasarkan bukti gaps
yang terjadi di lapangan antara lain adalah umur dalam keluarga. Beberapa
responden dengan umur lebih dari 40 tahun merasakan diskriminasi dari program
sosial pemerintah. orang tua yang memiliki rumah lebih bagus, namun lebih
miskin dari yang muda yang rumahnya lebih jelek malah tidak mendapatkan program
sosial. Rumah dijadikan indikator dan seringkali surveyor hanya melihat dari
luarnya saja, sehingga meski rumahnya lebih bagus tapi masih miskin malah tidak
dapat bantuan.
Kemudian
gaps yang lain adalah risiko yang dikover dalam program. Dalam program
jamkesmas, masyarakat mengasumsikan semua biaya kesehatan bagi si sakit yang
tidak mampu ditanggung oleh pemerintah, tetapi ternyata mereka harus tetap
membanyar dan seringkali menjual asetnya untuk biaya pengobatan si sakit.
Kemudian biaya transportasi ke puskesmas atau rumah sakit yang menyediakan
jamkesmas terkadang sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh si miskin.
Kemudian obat-obatan yang diberikan di puskesmas antara sakit yang satu dengan
yang lain sama saja, sehingga masyarakat miskin tidak percaya pada puskesmas
yang bersangkutan dan jaminan kesehatan yang diberikan. Masyarakat memilih
untuk mengeluarkan uang lebih dan mendapatkan pelayanan yang lebih memuaskan daripada
menggunakan jaminan kesehatan tetapi pelayanannya tidak memuaskan.
Dalam
bidang pendidikan, seringkali pendidikan gratis diberikan hanya sampai SMP.
Padahal saat ini harapan untuk mengangkat derajat melalui pekerjaan yang layak,
minimal adalah SMA. Jaminan pendidikan yang disediakan pemerintah baru sampai
SMP, sehingga masyarakat merasa masih banyak biaya yang harus mereka keluarkan
untuk pendidikan. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar, pekerjaan sehari-hari
masyarakat dirasa tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka. Mereka dipekerjakan
dengan upah rendah dan sistem kontrak yang sewaktu-waktu bisa dipecat.
Akibatnya bantuan-bantuan tunai seringkali digunakan untuk konsumsi
sehari-hari, bukan menjadi aset, karena mereka lebih butuh makan untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya.
Gaps
ini seringkali menjadi masalah dalam targeting sasaran. Seringkali ketika
survey ke suatu tempat, semuanya mengaku miskin. Hal ini karena mengaku miskin
berarti mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bila tidak berarti tidak dapat
apa-apa. Kemudian terjadi bias dalam targeting karena informasi yang didapatkan
tidak lengkap, bahkan terkadang hanya melihat dari luar dan tidak langsung
menemui responden. Dengan adanya gaps
ini diharapkan targeting yang dilakukan dengan suatu program lebih dipertajam
lagi. Kemudian infomasi tentang suatu program harus lebih jelas ke masyarakat
supaya tidak terjadi mispersepsi dalam masyarakat.